Tanggal 1 Mei 2018 ini kondisi gerbong Kereta Rel Listrik (KRL) di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) akan nampak lengang, tidak seperti hari-hari biasanya seiring dengan libur nasional Hari Buruh atau yang lebih populer disebut May Day.
Dilansir krl.co.id, jumlah pengguna KRL perhari pada hari kerja berjumlah 993.804 bahkan pernah mencapai penumpang terbanyak berjumlah 1.065.522.
Penulis bersama ribuan penumpang pengguna jasa transportasi KRL dan mayoritas sebagai buruh pada May Day ini dipastikan tidak menggunakan jasanya. Sehari penuh para buruh bisa menikmati masa liburnya setelah menghabiskan kesibukannya di hari kerja.
Bagi sebagian buruh, May Day boleh jadi hari yang ditunggu-tunggu seiring dengan rencana yang telah ditentukan untuk sekedar menghabiskan waktu bersama keluarga dengan piknik dan kegiatan refreshing lainnya.
Berbeda dengan sebagian buruh yang lain, momen May Day merupakan hari yang ditunggu-tunggu untuk turun ke jalan menggelar aksi menyuarakan beberapa tuntutan mereka terhadap pemerintah.
Banyaknya komunitas buruh rupanya salah satu indikator beragamnya cara buruh mengisi May Day. Ada yang turun aksi, melakukan kegiatan sosial, olah raga jalan santai, berkumpul dengan keluarga, darmawisata, pelatihan dan lainnya.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan tahun 2017 yang disampaikan Menaker Hanif Dhakiri, serikat pekerja atau buruh di Indonesia berjumlah 7.000 dengan anggota sebanyak 2,7 juta orang dari 230 ribu perusahaan dari berbagai sektor.
Data itu cenderung mengalami penurunan dari 14.000 serikat pekerja dengan 3,4 juta anggota pada tahun 2007. Penulis kira, apapun keadaanya bahwa serikat pekerja berfungsi sebagai wadah memperjuangkan hak-haknya meskipun dilakukan dengan cara yang berbeda-beda.
Bicara buruh merupakan tema yang menarik setiap tahunnya, ada warna warni yang menyertainya. Wajar bila May Day seringkali menyisakan kesan negatif karena seringkali diwarnai kericuhan.
Dari tahun ketahun tuntutan mereka tidak jauh berbeda, seperti: menolak upah murah, jaminan pensiun buruh, hapus sistem kerja outsourching, turunkan harga bahan pokok, dan jaminan sosial.
Apapun aktivitas yang dijalankan dalam mengisi libur nasional, May Day adalah momentum khusus yang ditunggu-tunggu para buruh. Meski demikian, ada saja pekerja yang tak bisa menikmati libur pada May Day bahkan lebaran sekalipun seperti wartawan dan lainnya.
Penulis kira, May Day harus dinikmati dengan suka cita dan riang gembira serta bebas dari kepentingan politik terlebih hari-hari ini adalah tahun politik. Yang tak kalah penting, jangan sampai hubungan buruh dengan industrial menjadi tidak baik.
Apapun ekspresinya, May Day hendaknya dihantarkan pada membagun harmonisasi antara pekerja dan pihak industri sehingga berefek pada terjaganya kesejahteraan para pekerja atau buruh itu sendiri.
Wujud Cinta Cak Imin
"Kelas yang mebanting ulang dari dini hari sampai malam, kelas yang mendapatkan upah cma cukup buat pengisi perut dan penutup punggung, kelas yang tinggal di bangsal seperti kambing dalam kandangnya dan sewaktu-waktu alami pukulan, kelas yang bisa kehilangan isteri atau anak gadisnya jika dikehendaki ndoro tuan".
Kalimat itu ditulis Tan Malaka kala ia tinggal di kampung halamannya Deli Sumatera setelah selesaikan studinya di Belanda akhir tahun 1919. Begitulah ia memberi gambaran terhadap pekerja atau buruh yang ia anggap nasibnya semakin tragis.
Di Indonesia, buruh melahirkan sejaharnya sendiri mulai dari kekelamannya hingga kini yang nampak mulai keluar dari zona tidak nyamannya. Mulai dari masa tanam paksa yang merupakan salah satu bentuk pekerjaan yang dilakukan buruh di masa penjajahan
Lanjut pada mulai munculnya organisasi buruh di masa pergerakan nasional, buruh ternyata berperan mengawal stasiun kereta, perkebunan, dan pabrik yang ada di Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan dengan tujuan supaya tidak lagi jatuh ke tangan penjajah.
Selanjutnya, berbagai organisasi buruh bermunculan pasca kemerdekaan. Bahkan, sebagian mereka mulai terlibat berpolitik. Tak jarang dalam beberapa kesempatan mereka turun ke jalan untuk melakukan aksi menuntut hak-haknya.
Berbeda lagi di masa orde baru, semua aktivitas buruh sama sekali dibatasi karena diidentikkan dengan komunisme yang dilarang. Penulis masih masih ingat dengan kasus Marsinah, seorang buruh yang kematiannya masih menjadi tanda tanya hingga kini yang kemudian ceritanya diabadikan dalam sebuah film.
Runtuhnya rezim orde baru, seiring dengan dibukanya keran demokrasi, tak heran pada masa ini bermunculan organisasi-organisasi buruh di Indonesia. Sekian lama dibungkam, memancing para buruh membuat wadah berserikat demi menuntut hak-haknya.
Rupanya belum cukup dengan itu, buruh di Indonesia kemudian menuntut supaya tanggal 1 Mei dijadikan hari libur nasional layaknya di negara-negara berkembang. Pada tanggal itu dianggap sebagai ruang buruh untuk sampaikan aspirasinya kepada pemerintah.
Peringatan 1 Mei sebagai hari buruh internasional atau populer dengan sebutan May Day sangat lekat dengan peristiwa yang terjadi di lapangan Haymarket, Chicago, Illinois, Amerika Serikat (AS) pada 4 Mei 1886.
Atas tuntutan tadi, pada saat Menteri Tenaga Kerja dijabat oleh Muhaimin Iskandar, dengan inisiatif dan perjuangannya "berbisik" pada Presiden SBY, May Day kemudian ditetapkan sebagai hari libur nasional. Hal ini sebagai penerapan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24/2013.
Tak pelak, keputusan itu disambut dengan sukacita oleh kalangan pekerja atau buruh. Suka tidak suka, May Day sebagai wujud cinta Cak Imin pada buruh. Wajar bila semua tersenyum gembira dan menerima Keppres 24/2013 sebagai kado yang menggembirakan.
Sebagai menteri yang membawahi urusan ketenaga kerjaan kala itu, Cak Imin faham betul menangkap peluang demokrasi yang memberi kesempatan yang sama pada semua pihak, wabil khusus para pekerja atau buruh demi memenuhi hak-haknya.
Wujud cinta Cak Imin dengan mengapresiasi eksistensi buruh ini merupakan sejarah terang bagi ketenagakerjaan kita. Meskipun polemik soal upah, hubungan kerja dan syarat-syarat kerja terus disuarakan.
Rentan Politisasi
Sudah menjadi rahasia umum bila isu tenaga kerja di Indonesia selalu rentan disusupi kepentingan politik. Terlebih tahun ini menghadapi pemilu legislatif, DPD dan Pilpres tahun 2019 mendatang.
Sekedar contoh, akhir-akhir ini jagat media kita diramaikan dengan berseliwerannya berita tentang temuan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang dianggap mengganggu eksistensi potensi pekerja lokal kita.
Yang penulis sayangkan, isu ini bagian dari politisasi isu terutama  pekerja dari Tiongkok yang malah muncul tiba-tiba di tahun politik ini. Padahal isu ini sudah ada sebelum pemerintahan Jokowi-JK hari ini. Inilah yang penulis sebut sebagai poltisasi.
Penulis sayangkan, karena tidak memiliki basis argument yang jelas dan  bertentangan dengan fakta-fakta sebenarnya yang terjadi di lapangan. Data yang dimunculkan pihak-pihak yang "meramaikan" isu itu sungguh tidak sesuai dengan data Kementerian Ketenagakerjaan yang diperoleh secara berjenjang dari level dinas.
Padahal, saat ini kita telah berada dalam era Asean Free Trade Area (AFTA) sejak tahun 2015 yang lalu. Para pemimpin negara-negara ASEAN telah sepakat untuk mentransformasi wilayah ASEAN menjadi kawasan bebas aliran barang, jasa, investasi, permodalan, dan tenaga kerja.
Suka tidak suka, penulis kira konsekuensi ini melahirkan peluang dan tantangan sekaligus. Fenomena Globalisasai, barang, jasa, uang dan tenaga kerja merupakan fenomena yang biasa di era modern ini. Bila peluangnya ditolak niscaya kita akan ketinggalan dengan negara lain.
Sebuah bangsa tidak akan kehilangan identitas dan jatidirinya karena menjadi bangsa yang terbuka. Kita Bisa melihat fakta-fakta berikut ini; China menguasai surat utang Amerika US$ 1.15 Trilyun. Apakah otamatis Amerika dicaplok oleh China? Tidak.
Selanjutnya, Arab investasi di China 870 Triliyun. Apakah rakyat China terkencing-kecing merasa dijajah oleh Arab? Tidak. Amerika Investasi 122 Triliyun ke Singapore, apakah warga Singapore otamatis jadi antek asing ? Tidak.
Kemudian, sebanyak 252.000 TKI bekerja di Taiwan. Apakah rakyat Taiwan merasa dijajah Indonesia ? Tidak. Jumlah TKI yang bekerja di China 81.000, sementara TKI di Hongkong 153.0 00, di Macau 16.000, apakah rakyat China, Hongkong dan Macau merasa di jajah oleh Indonesia ? Tidak.
Penulis kira, berdasarkan data Kemenaker tahun 2017, jumlah TKA yang bekerja di Indonesia sebanyak 85.974 orang. Jika  dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini, berarti masih kurang dari 0,1 %. Bila jumlahnya lebih dari itu berarti ilegal, harus ditelusuri siapa aktornya intelektualnya.
Sementara itu, jumlah Tenaga Kerja dari Tiongkok, di Indonesia  ada 24.000. Angka ini relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah TKA secara keseluruhan yang mencapai 160.000. Anehnya, tiba-tiba beberapa pihak sudah merasa dijajah oleh China.
Bila TKI kita diterima berkerja di negara tujuan, ini bukti bahwa warganya bisa bernalar dengan benar. Mereka bisa membedakan antara bisnis dengan kedaulatan negara. Era globalisasi ini tidak dipetakan lagi oleh suku, ras dan agama. Masyarakat modern sudah tidak mempermasalahkan lagi perbedaan keyakinan. Mereka bersama-sama membangun peradaban.
 Penulis adalah peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H