Mohon tunggu...
Devy Arysandi
Devy Arysandi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Remahan Rakyat

Masih memanusiakan manusia dengan cara manusia hidup sebagai manusia yang diciptakan Tuhan untuk menjadi manusia sebaik-baiknya manusia.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Demokratisasi Sebuah Dinasti

17 Februari 2024   18:11 Diperbarui: 17 Februari 2024   18:11 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Negeriku tengah mengadakan pesta

Pesta yang besar sebagai ajang 5 tahunan

Dimana rakyat akan dielu-elukan

Rakyat dicari untuk mengisi suara

Padahal kemarin rakyat ditinggalkan

Dibiarkan tertidur dan terlelap dalam mimpi

Mimpi buruk yang setiap hari membangunkan

Namun, menidurkan kembali pada harapan pasi

Begitu dan terus begini sepanjang sejarah peradaban...

Miris sekali rupanya negeriku ini

Lama tidak dijajah

Rupanya tidak jua terjamah

Selalu ada di bawah kekangan tirani

Para konglomerat yang berdiri gagah di barisan terdepan

Seolah mampu memberi makan si miskin

Akan tetapi, ketika ditagih uang makan

Mereka pergi tanpa izin

Lain halnya dengan si kaya yang dapat berjabat tangan dengan penguasa

Makan malam dijamu dengan kehangatan

Si miskin hanya terdiam dengan senyuman kegetiran

Mengharapkan sesendok nasi dapat mengisi lambung kosongnya

Hahaha...

Terlalu miris untuk dikatakan "merdeka"

Karena sama saja rakyat dipenjara

Tidak boleh menduga dan berkata-kata

Akan kebiadaban para penguasa neraka

Negeriku amat kucintai tapi tidak dicintai oleh mereka

Tidak berbelas kasih untuk melindungi dan menjaga

Bahkan dengan sengaja memecah belah dunia

Dengan satu kata utuhkanlah "kuasa"

Hohoho...

Pagi-pagi rakyat harus bekerja di dalam tekanan

Siang-siang diharuskan penuh keringatan

Dan malam-malam selalu diperingatkan

Untuk tidak berani "melawan"

Apakah ini perwujudan demokrasi?

Apakah ini hasil dari reformasi?

Yang berdarah dari para tangan muda-mudi

Atau rupanya memang sudah diskenariokan sejak dini

Demokratisasi yang sakral, dijadikan bahan lelucon tirani

Yang masih duduk di kursi kebesarannya

Dan tertidur dengan kenyangnya

Setelah berhasil membangun sebuah dinasti

Patut untuk ditiru, seolah sedang berdialek dengan akademisi

Menghalalkan segala cara untuk mendapatkan posisi

Melupakan harga diri dan martabat seorang petinggi

Oh, begitu kiasannya untuk pemimpin negeri ini

Sungguh miris, Kawan

Di tengah jeritan rakyat yang setiap hari semakin menjadi

Rakyat dicekik terus-menerus dengan rantai besi

Agar tidak lepas dari kendali dan cengkeraman

Hukum yang harusnya dapat menjadi tameng kebenaran

Kini diobrak-abrik demi kekuasaan

Perang dengan sesama saudara untuk menghasilkan kemenangan

Sungguh negeriku amat patut dikasihani, Kawan

Lama tidak bersua

Rupanya sebagian rakyat di negeri ini telah mati

Tinggal jasad dan tulang belulang yang tersusun rapi

Untuk segera dikebumikan di dalam tanah sengketa

Kawan, demokrasi ini sudah hilang

Tidak lagi berkabar untuk rakyatnya

Dan rakyat hanyalah ilalang

Yang akan dibabat habis oleh tangannya

Lampung, 17 Februari 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun