Wawan memainkan gitar kesayangannya di sudut ruang tamu dengan pintu terbuka menghadap teras rumah yang adem. Melodi lembut mengalun, memenuhi rumah yang kini terasa hampa meski penuh perabot. Rini, istrinya, baru saja pulang dari sekolah tempat ia mengajar. Wajahnya tampak lelah, tetapi matanya tetap memancarkan semangat.
Sinta, putri semata wayang mereka yang kini berusia 8 tahun dengan rambut panjangnya yang dikuncir ekor kuda, duduk di meja belajarnya, sibuk menyelesaikan tugas sekolah.Â
"Ayah, makan malam sudah siap" ujar Rini sambil berjalan meninggalkan dapur.
Wawan hanya mengangguk tanpa menoleh, jari-jarinya masih sibuk memetik gitar. Sinta menoleh ke arah ayahnya, lalu memandang ibunya dengan tatapan penuh tanya.
"Ayah nanti makan apa kita, ya?" tanya Sinta pelan.
"Bakmi goreng kesukaanmu, Sayang. Kamu duluan saja dengan ibu," jawab Wawan singkat.
Rini hanya menghela napas panjang. Selama beberapa bulan terakhir, sikap suaminya berubah. Wawan yang dulu ceria dan penuh perhatian kini sering melamun, menghabiskan waktu dengan ponselnya sambil senyum tipis. Rini sebenarnya mulai menyimpan curiga, tetapi ia memilih diam, berharap perubahan itu hanya sementara. Namun, sebuah pesan tak sengaja terbaca di ponsel Wawan beberapa minggu lalu. Pesan itu berasal dari Maya --- mantan kekasih suaminya. Pesan-pesan tersebut penuh dengan nostalgia dan janji pertemuan. Sejak saat itu, hati Rini terasa seperti pecahan kaca yang retak. Karenanya suatu malam, ketika Sinta sudah tidur, Rini memberanikan diri untuk berbicara.
"Ayah, kita perlu bicara," ujarnya dengan nada tenang namun tegas.
Wawan yang sedang asyik dengan ponselnya menoleh malas. "Tentang apa?"
"Tentang kita. Tentang kamu dan Maya."
Raut wajah Wawan berubah, matanya berkaca-kaca. Ia meletakkan ponselnya di meja, tetapi tidak berusaha menyangkal. Ia hanya mengangguk dan terus menangis persis seperti anak kecil.