Mohon tunggu...
Ursula Dyah
Ursula Dyah Mohon Tunggu... Guru - Teacherpreneur

Teacher, Trainer and Educator. Founder of Bintang Kejora

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pohon Jambu Merah

1 Januari 2025   10:00 Diperbarui: 1 Januari 2025   19:59 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Baik, Mbak, saya belikan. Maaf saya masuk untuk ambil tabungnya."

Sopan dan santun cara bicaranya, Mang Dede, pria paruh baya dengan memakai celana pendek dan kaos oblong. Ditemani sebatang rokok yang tidak pernah lepas dari tangannya.

Serta merta, dia masuk ke dapur dan mengambil gas elpiji kosong. Tidak sampai tiga puluh menit, Mang Dede sudah mengetuk pintu dan siap memasang tabung gasnya.
"Makasih ya Mang."  Uang kembalian yang ia berikan kepadaku tidak terima. "Udah buat mamang beli rokok aja"

Senyuman manis tersungging di wajahnya yang sudah mulai keriput tapi masih terlihat ganteng. Perawakannya tinggi dan selalu memakai jam tangan. Pokoknya masih keren. Andai dia pakai jas pasti banyak wanita yang memujanya.

Setiap hari aku melihat si Mamang duduk di teras biliknya dengan asap rokok mengepul di udara, secangkir kopi tubruk yang aromanya sedap sekali sampai-sampai aku ikut mencium aromanya dan TWS (true wireless stereo) alias dua alat perangkat audio lewat bluetooth  di kupingnya, entah apa yang ia dengarkan.

Sering terpikir olehku kenapa Mamang ini sendirian, mengabdikan dirinya pada seorang pengusaha kontrakan dua puluh pintu yang jarang menagih pada orang-orang yang menyewa tempatnya. Seolah orang itu tidak butuh duit. Tapi mengapa?

Mengapa Mang Dede tiap hari di sini, libur lebaran pun tidak pernah pulang kampung. Ingin rasanya bertanya kepadanya. Mungkinkah dia tidak punya keluarga? Tidak adakah anak atau istri yang dirindukan? Atau mungkin ada sesuatu yang menggelisahkan hatinya setiap kali pulang ke kampung halamannya. Hari demi hari berlalu begitu saja, tapi Mang Dede terus membantu dan melayani mereka yang mengontrak rumah itu. Baik sekali orang itu. 

Suatu kali Mang Dede naik pohon jambu depan pintu kontrakanku, nomor 7. 

"Hati-hati manjatnya, Mang," teriakku spontan. 

Setelah mengambil beberapa jambu akhirnya ia turun dengan aman.

Lantas dia mendekatiku dan memberiku jambu yang matang. Dan jambu itu ternyata rasanya manis sekali. 

Mang Dede, lantas duduk di teras, pandangannya seperti menerawang ke awan, tak berkedip sambil senyum-senyum. Membuatku ikut tersenyum melihat tingkahnya. 

Pengurus rumah kontrakan itu tiga orang, Mang Dede, Mbak Sri yang kerjanya mencuci pakaian dari orang kontrakan dan suaminya yang juga membantu bersih-bersih. Setiap hari mereka bergantian membersihkan kontrakan, menyapu dan ngepel. Mereka bersaudara.

Sore itu aku duduk bersama Mbak Sri sambil nyeruput teh pahitku di teras rumah kontrakan. Iseng aku tanyanya. "Mbak, kenapa Mang Dede tadi senyum-senyum sendiri. Dan kenapa ia selama ini sendirian saja? Memang gak ada istri atau saudara lainya?" Penasaranku membuat rentetan pertanyaan seperti kereta liwat. "Aduh Mbak kok saya kepo ya!"

"Oh itu. Ia memang selalu senyum-senyum kalau manjat pohon jambu, Mbak. Teringat masa lalunya mungkin. " jawab Mbak Sri. 

Lalu Mbak Sri bilang, suatu hari Mang Dede pernah cerita, pohon jambu itu katanya mengingatkan pada cerita lamanya, sekitar tiga puluh tahun lalu, ketika Mang Dede masih muda, ia berkenalan dengan gadis cantik dari desa sebelah yang memiliki rambut panjang dan berkacamata. Mirip gadis sampul zaman sekarang.

"Wah tambah penasaran cerita tentang Mang Dede."

" Iya, Mbak. Perempuan itu akhirnya menjadi kekasihnya. Orangnya cuantiiikkk banget, namanya Lastri. Katanya mereka bertemu saat peringatan tujuh belasan di desa sebelah, tapi sayangnya hubungan mereka kandas."

"Astagfirullah," spontan aku berucap sambil ngelus dada meskipun gak ada yang terjadi. 

"Jadi tuh, Mbak. Pacaran mereka sering di bawah pohon jambu merah, yang hampir sama dengan pohon jambu ini. Mereka kencan seminggu sekali sambil Lastri mengantar makan siang ayahnya di sawah"

Lalu Mbak Sri bercerita panjang lebar tentang mereka. Tentang Mang Dede yang suka mengambilkan jambu merah buat Lastri. Suatu ketika, saat Mang Dede sedang di atas pohon jambu, ayah Lastri pergi ke tempat itu, menemui Lastri yang  sedang duduk di atas batu besar di bawah pohon jambu. Sang ayah yang menjabat kepala desa Winangun mengajaknya pulang. "Ada tamu istimewa buatmu. Ia anaknya seorang kontraktor di kota ingin  melamarmu, Nduk!"

"Kabarnya, waktu itu Lastri hanya bisa memandang Mang Dede yang berada di atas pohon, sedang bengong sembari memegang petikan jambu. Sang ayah pun langsung menggandeng Lastri tanpa melihat ke atas pohon," lanjut Mbak Sri.

"Lantas Mang Dede, gimana, Mbak? tanyaku.

Mbak Sri tidak tahu dengan jelas. Tapi dari cerita Mang Dede, katanya waktu itu ia sangat sedih, bahkan sampai menangis. Ia kemudian perlahan turun dari pohon. "Untung tidak pingsan," lanjut Mbak Sri sambil tertawa geli campur prihatin.

Setelah itu kata Mbak Sri, hidup Mang Dede menyedihkan. Suka duduk merenung, memikirkan cintanya yang tak berbalas. "Pernah saya memergoki, berjam-jam ia memandang jambu merah kesukaan Lastri sembari berkata bahwa sampai sekarang cintanya pada Lastri. tidak hilang. Tidak bisa berpindah ke lain hati," terang Mbak Sri.

Kata Mbak Sri lagi, sejak saat itu, komunikasi mereka berakhir. Lastri dibawa ke kota bersama anak kontraktor dan Mang Dede hanya bisa menunggu dalam kesendirian.
Ia sudah menutup hatinya untuk perempuan mana pun, cintanya hanya untuk Lastri.  Dari waktu ke waktu hanya diisi dengan merenung. 

"Waktunya saya kembali ke kota untuk melanjutkan pekerjaan, karena merasa iba saya membawanya ke kota untuk bekerja bersama. Sampailah ia di sini. Ia mengerjakan segala hal, dari mengurus ayam peliharaan, mencuci mobil sampai nyapu dan ngepel setiap pagi halaman dan teras kontrakan sehingga selalu bersih dan wangi. Perasaannya bagi perempuan mungkin sudah mati tapi sepertinya ia sudah mendapatkan arti hidup, dengan menjadi pribadi yang tidak meratapi nasibnya dan selalu membantu orang lain, ditemani kopi dan kepulan asap." terang Mbak Sri yang terakhir sebelum ia pamit untuk mengurus cucian.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun