"Kabarnya, waktu itu Lastri hanya bisa memandang Mang Dede yang berada di atas pohon, sedang bengong sembari memegang petikan jambu. Sang ayah pun langsung menggandeng Lastri tanpa melihat ke atas pohon," lanjut Mbak Sri.
"Lantas Mang Dede, gimana, Mbak? tanyaku.
Mbak Sri tidak tahu dengan jelas. Tapi dari cerita Mang Dede, katanya waktu itu ia sangat sedih, bahkan sampai menangis. Ia kemudian perlahan turun dari pohon. "Untung tidak pingsan," lanjut Mbak Sri sambil tertawa geli campur prihatin.
Setelah itu kata Mbak Sri, hidup Mang Dede menyedihkan. Suka duduk merenung, memikirkan cintanya yang tak berbalas. "Pernah saya memergoki, berjam-jam ia memandang jambu merah kesukaan Lastri sembari berkata bahwa sampai sekarang cintanya pada Lastri. tidak hilang. Tidak bisa berpindah ke lain hati," terang Mbak Sri.
Kata Mbak Sri lagi, sejak saat itu, komunikasi mereka berakhir. Lastri dibawa ke kota bersama anak kontraktor dan Mang Dede hanya bisa menunggu dalam kesendirian.
Ia sudah menutup hatinya untuk perempuan mana pun, cintanya hanya untuk Lastri. Â Dari waktu ke waktu hanya diisi dengan merenung.Â
"Waktunya saya kembali ke kota untuk melanjutkan pekerjaan, karena merasa iba saya membawanya ke kota untuk bekerja bersama. Sampailah ia di sini. Ia mengerjakan segala hal, dari mengurus ayam peliharaan, mencuci mobil sampai nyapu dan ngepel setiap pagi halaman dan teras kontrakan sehingga selalu bersih dan wangi. Perasaannya bagi perempuan mungkin sudah mati tapi sepertinya ia sudah mendapatkan arti hidup, dengan menjadi pribadi yang tidak meratapi nasibnya dan selalu membantu orang lain, ditemani kopi dan kepulan asap." terang Mbak Sri yang terakhir sebelum ia pamit untuk mengurus cucian.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H