"Betul, Pak. Gelap sekali selama perjalanan. Cuma terang sama lampu warung," balas Bambang.
"Warung?" tanya ketua kampung, roman mukanya seperti yang keheranan. "Warung yang mana?"
"Dari sini kira-kira satu jam perjalanan," jawab Bambang.
"Kalau dari sini setelah belokkan, Pak." Aku menambahkan, aku ingat sekali ada belokkan cukup tajam setelah meninggalkan warung tadi malam.
"Anda tidak salah?" tanya Pak Burhan lagi.
"Tidak, lah, Pak. Bahkan kami sempat berhenti untuk membeli air mineral," jelasku.
Pak Burhan terdiam. Beberapa jenak dia memandang wajahku, wajah Joko dan Bambang bergantian, lalu, "Kalian serius tadi malam mampir di warung itu?"
"Betul, Pak. Emangnya ada apa, Pak?" Aku merasa ada yang aneh dengan pertanyaan dan perubahan sikap Pak Burhan.
"Kalian tidak merasa ada yang aneh saat di warung itu?"
"Ya ada, sih. Kedua suami-istri penjaga warung itu sikapnya aneh, tidak bicara sedikitpun, dan tatapan matanya, seperti memandang yang jauh."
"Memang ada apa dengan warung itu, Pak?" Bambang jadi penasaran.