Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Giveaway

6 Juli 2024   13:59 Diperbarui: 6 Juli 2024   14:44 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dokpri, drawn by ai

Gedung olahraga milik KONI semakin riuh oleh sorak penonton. Saat itu, di lapangan badminton sedang berlangsung pertandingan final kompetisi antar pelajar tingkat SMA se-kabupaten. Pertandingan yang menegangkan, karena yang menjadi pemenang akan mewakili kabupaten bertanding di tingkat provinsi.

Wajar semua penonton antusias dan tak henti bersorak. Karena berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, pertandingan final kali ini mempertemukan pemain dari SMA asal daerah terpencil, bahkan sangat pinggiran, melawan pelajar dari SMA ibu kota provinsi yang sudah langganan juara.

Andi, pelajar dari SMA terpencil itu, harus terengah-engah meladeni lawannya, Ronald.

Baca juga: Shutdown Operation

Semua penonton, juga panitia, penasaran dengan permainan Andi, yang tanpa diperhitungkan bisa mencapai babak final. Mereka juga penasaran, mampukah Ronald, sebagai pemain favorit, menjadi juara? 

Di lapangan, Ronald tampak tenang dan percaya diri. Dengan fasilitas latihan terbaik dan pelatih profesional, Ronald sudah terbiasa dengan tekanan pertandingan besar. Berbeda dengan Andi, yang hanya berlatih di lapangan seadanya di desa.

"Ronald memimpin set pertama dengan skor 21-14!" Suara komentator terdengar nyaring, mengumumkan kekalahan Andi di set pertama. Gemuruh sorak penonton semakin riuh, seolah hendak merobohkan gedung KONI. 

Andi mengusap keringat di dahinya. Dia merasa beban ini terlalu berat. Perjuangan yang sudah ia lakukan selama ini seakan tak berarti di hadapan keunggulan Ronald. Andi berada di ambang keputusasaan

Saat jeda, ayah Andi,yang sekaligus menjadi pelatih, mendekatinya. Mata ayahnya penuh dengan kasih sayang dan sorot optimis. "Andi, jangan menyerah. Kau sudah berlatih keras untuk momen ini. Ingat, kekuatanmu bukan hanya di fisik, tapi di hati dan kepalamu."

Andi menggeleng, merasa tak yakin. "Ayah, dia terlalu kuat. Aku tidak tahu apakah aku bisa mengalahkannya."

Ayahnya tersenyum, menepuk bahu Andi dengan lembut. "Ingat, kau sudah beberapa kali melewati pertandingan yang sulit, dan menghadapi lawan yang sebelumnya kau anggap lebih unggul. Tapi lihat, sekarang kau ada di babak final. Artinya, semuanya telah kau lewati dengan kemenangan. Kalah di set pertama bukan akhir dari segalanya. Yang penting adalah bagaimana kamu bangkit. Bermainlah sebagai kau bermain selama ini, jangan ikuti permainan dia. Fokuslah dan nikmati setiap pukulan. Percayalah pada dirimu sendiri."

Kata-kata ayahnya membangkitkan semangat Andi. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir keraguan yang menyelimutinya. Saat kembali ke lapangan untuk memulai set kedua, ada tekad baru dalam pandangannya.

Set kedua dimulai dengan ketegangan yang lebih tinggi. Ronald tetap bermain dengan gaya agresifnya, namun Andi kini bermain lebih tenang dan taktis. Ia mengatur setiap pukulan dengan strategi yang matang, mencari celah di pertahanan Ronald. Skor berjalan ketat, namun perlahan Andi mulai unggul.

"Set kedua dimenangkan oleh Andi dengan skor 22-20!" Komentator berteriak, dan penonton bersorak lebih keras. Andi mengangkat tangannya, memberi salam pada penonton yang mendukungnya. Ia menoleh ke ayahnya yang berdiri di tepi lapangan, tersenyum penuh bangga.

Pertandingan memasuki set ketiga, set penentuan. Andi dan Ronald saling beradu kekuatan dan strategi. Ronald terlihat mulai frustasi dengan perlawanan sengit Andi, kekalahan di set kedua melemahkan mentalnya. Sementara Andi bermain dengan semangat yang luar biasa.

Pada skor 19-19, ketegangan mencapai puncaknya. Andi melakukan smash keras yang diantisipasi dengan baik oleh Ronald. Keduanya terlibat dalam rally panjang yang menegangkan. Andi kemudian melakukan pukulan drop shot yang mengejutkan Ronald, membuatnya tak sempat mengembalikan bola dengan baik.

"Andi memimpin 20-19! Game point! Satu poin lagi untuk kemenangan!" teriak komentator.

Andi berusaha tetap tenang. Ia ingat kata-kata ayahnya, "Mainkan permainanmu sendiri, fokus!." 

Ronald melakukan servis terakhirnya. Andi menerima dengan baik, dan keduanya kembali terlibat dalam rally cepat. Ronald mencoba smash, namun Andi dengan reflek cepat mengembalikannya dengan lob tinggi.

Pengembalian Ronald tanggung, Andi tak membuang kesempatan, ia melakukan smash keras ke sudut lapangan yang tak terjangkau. Bola mendarat sempurna.

"Andi menang! Luar biasa! Andi memenangkan pertandingan final dengan skor 21-19!" 

Sorakan penonton meledak. Andi jatuh berlutut, lalu bersujud. Ayahnya berlari ke arahnya, memeluk Andi erat.

"Kau hebat, Andi! Kau hebat!" teriak ayahnya dengan suara bergetar.

Andi tersenyum di antara air mata kebahagiaan. "Terima kasih, Ayah. Ini semua berkat dukungan dan doa Ayah."

Mereka berdiri bersama di tengah lapangan, menyaksikan tepuk tangan yang bergemuruh dari penonton.

Andi menangis dalam bahagia. Perjuangannya selama ini tidak sia-sia. Memori sejak awal mengikuti kompetisi pun berputar di kepalanya. 

---

Kampung Sukarata masuk ke Kecamatan Sukajadi. Walaupun Kecamatan Sukajadi termasuk kecamatan yang maju dan ramai, tapi tidak dengan Kampung Sukarata yang memang berada di pinggir kecamatan.

Di Kampung Sukarata itu Andi tinggal dan sekolah, di SMA Negeri. Berada di kampung, sekolah Andi tidak punya fasilitas seperti sekolah-sekolah di kota. Termasuk lapangan badminton.

Untuk bermain dan berlatih, menjelang kompetisi, sekolah harus meminjam lapang milik kampung Sukarata. Begitupun dengan raket. Raket yang digunakan Andi terbuat dari kayu tua, peninggalan generasi sebelumnya.

Meskipun demikian, semangat Andi dan teman-temannya tidak pernah padam. Mereka berlatih setiap hari, dibimbing oleh ayah Andi yang menjadi pelatih sukarela di sekolah.

Ketika sekolah mengumumkan kompetisi antar SMA, Andi melihat ini sebagai kesempatan besar, untuk mengangkat pamor sekolahnya,juga nama kampungnya. Sekolah mengutus Andi dan dua orang temannya untuk berlaga di kompetisi se-kecamatan.

Walaupun banyak yang meragukan kemampuan anak-anak Kampung Sukarata, tapi Andi dan kawan-kawan tetap optimis.

Setelah berjuang keras melawan pemain dari sekolah lain, Andi pun menjadi juara. Ia pun melaju ke kompetisi se-kabupaten, melawan para juara dari beberapa kecamatan.

Tak percuma Andi berlatih keras, walaupun dengan fasilitas seadanya. Walaupun harus terseok-seok melawan pemain-pemain handal, akhirnya Andi masuk ke babak final.

Babak yang menegangkan dan menentukan. Karena pemenangnya akan mewakili kabupaten untuk berlaga di kompetisi se-provinsi. 

Babak final itu mempertemukan Andi dengan salah satu siswa yang lebih berpengalaman, Ronald. Dari sekolah favorit yang langganan juara di kompetisi tersebut. 

---

Setelah kemenangan yang luar biasa di final, Andi merasa seolah-olah dunia berada di genggamannya. Ia sudah membayangkan bagaimana ia akan mewakili kotanya di tingkat provinsi, membawa semangat dan kerja kerasnya ke arena yang lebih besar. 

Namun, kegembiraannya tidak bertahan lama.

Sehari setelah kemenangan itu, ayah Andi mendapat kabar yang mengejutkan. Alih-alih Andi, yang ditunjuk untuk mewakili kota di tingkat provinsi adalah Ronald, lawan yang telah dikalahkan Andi di final. 

Ayah Andi tentu saja tidak bisa menerima keputusan itu. Ia bergegas menemui panitia untuk mencari penjelasan.

"Ini bagaimana? Mengapa Ronald yang ditunjuk, bukan Andi? Bukankah Andi yang juara satu?" Suara ayah Andi penuh dengan kemarahan dan ketidakpercayaan.

Panitia yang duduk di depan meja, dengan wajah dingin, menatap ayah Andi. "Maaf, Pak. Kami tidak mau berspekulasi dengan mengirim pemain dari daerah yang masih meragukan. Kompetisi di tingkat provinsi berbeda dengan di tingkat kabupaten. Tensinya sangat tinggi."

"Tapi Andi sudah membuktikannya mampu menjadi juara," balas ayah Andi.

"Maaf, Pak. Keputusan ini sudah final. Ronald juga merupakan finalis. Aturannya finalis yang dapat maju ke provinsi, bukan hanya yang juara," jelas seorang panitia yang lain.

Diskusi berlanjut dengan ketegangan yang terus meningkat. Setiap argumen yang diajukan ayah Andi dihadapi dengan alasan formal dari panitia. Akhirnya, panitia menutup diskusi dengan tegas.

"Maaf, Pak. Keputusan ini tidak bisa diubah. Ronald yang akan mewakili kota di tingkat provinsi," kata ketua panitia dengan nada final.

Keputusan ini tidak adil!" Ayah Andi berbalik setelah sebelumnya menggebrak meja di hadapan panitia.

Ayah Andi keluar dari ruangan dengan hati yang berat. Ia merasa perjuangan Andi telah dirampas oleh sistem yang tidak adil. 

Saat berjalan keluar gedung, seorang pria mendekatinya.

"Pak, saya salut pada putra bapak. Saya berminat merekrutnya untuk masuk tim badminton saya," kata orang tersebut.

Ayah Andi tidak menjawab, wajahnya menunduk sambil terus berjalan. Kekecewaan dan kemarahan memenuhi ruang hatinya.

"Apa yang terjadi pada putra bapak adalah hal biasa, itu sudah jadi rahasia di kalangan kami pengurus olahraga." Tiba-tiba orang itu melontarkan kalimat yang membuat ayah Andi penasaran.

"Apa maksud Anda?" Ayah Andi menghentikan langkahnya.

"Saya dapat info, Ronald itu keponakannya Bupati. Dari babak awal, dia memang sudah diatur supaya berhadapan dengan lawan-lawan yang lebih lemah, agar bisa masuk ke babak final," bisik orang itu.

Ayah Andi tertegun mendengarnya. "Jadi, semua ini sudah diatur dari awal? Tidak peduli seberapa keras Andi berjuang, keputusan ini sudah ditentukan?"

Pria itu mengangguk. "Benar, Pak. Saya dengar sendiri dari beberapa orang di panitia. Mereka tidak mau mengambil risiko. Bupati punya pengaruh besar, dan mereka lebih memilih untuk tidak mencari masalah."

Dengan rasa kecewa dan marah yang membara, ayah Andi pulang ke rumah. Ia tahu bahwa keadilan seringkali hanya kata kosong di dunia yang penuh dengan kekuasaan dan pengaruh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun