"Begitulah ceritanya, Nak." Pak Karto mengakhiri kisahnya.
"Lalu, apa yang telah diperbuat Bapak dan penduduk untuk mengakhiri kutukan itu?"
Pak Karto hanya menggeleng.
Suatu malam Andi bermimpi. Dalam mimpinya, Andi berada di sebuah panggung gamelan yang diterangi cahaya bulan purnama. Di sana, ia melihat Sari bermain gamelan dengan sedih. Sari tidak berbicara, tetapi melodi yang ia mainkan menyiratkan perasaan duka dan penyesalan yang mendalam.
Handari mendekati Andi dan mulai berbicara, tepatnya berbisik. "Untuk mengakhiri kutukan ini, semua harus meminta maaf, dan memberikan penghormatan yang layak kepadaku." Suara Handari lembut, namun bernada ancaman.Â
Andi menceritakan mimpinya pada Pak Karto. Atas kesepakatan semua warga dusun, mereka kemudian melakukan ritual dengan menabuh gamelan sebagai permohonan maaf di hutan tempat suara gamelan terdengar, yang merupakan lokasi mayat Handari ditemukan. Mereka juga bmembawa sesajen dan berdoa dengan tulus, mengakui kesalahan nenek moyang mereka dan memohon agar kutukan itu dihentikan.
Angin kencang bertiup mengiringi suara gamelan selama ritual berlangsung. Pak Karto menghentikan ritual menabuh gamelan ketika angin berhenti bertiup kencang.
Malam harinya Andi kembali bermimpi. Kali ini Handari menemui Andi dengan senyum di wajahnya. "Terima kasih. Kini aku bisa beristirahat dengan tenang."
Sejak saat itu, dusun Talangsari tidak lagi dihantui oleh suara gamelan setiap malam bulan purnama. Andi merasa senang karena ia telah membantu mengakhiri kutukan yang telah lama membayangi dusun Talangsari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H