Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendapat Ulama Dunia tentang Pemungutan Suara atau Pemilu

7 Februari 2024   09:36 Diperbarui: 7 Februari 2024   09:42 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak dipungkiri kalau sampai saat ini ada dari segolongan umat Islam yang masih menganggap demokrasi itu haram. Menurut mereka, demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang berasal dari pemikiran Yunani di mana kekuasaannya dipegang oleh rakyat sehingga aturan-aturan yang dibuat berasal dari rakyat.

Sehingga tidak aneh kalau kemudian ada yang menyebut demokrasi sebagai sistem yang syirik, atau menyekutukan Allah. Mereka menilai slogan demokrasi 'dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat' telah mengambil hak Allah dalam memutuskan suatu hukum atau peraturan.

Karena menganggap demokrasi adalah haram dan/atau syirik, maka mereka pun menolak terlibat dalam proses pemungutan suara atau pemilihan umum (Pemilu), alias Golput (golongan putih).

Baiklah, artikel ini tidak akan membahas tentang haram atau tidaknya demokrasi. Karena negara kita, sejak diproklamasikan sebagai negara merdeka, disepakati menganut sistem demokrasi. Dan itu hasil musyawarah para ulama saat itu. Kita sebagai orang awam, patut menghargai dan mengikuti pendapat mereka.

Para ulama, baik dari NU (Nahdhatul Ulama), Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan yang lainnya, tidak satu pun yang menganggap demokrasi sebagai haram atau syirik. Apalagi jika demokrasi disederhanakan sekadar metodologi pemilihan majelis perwakilan dan pemimpin yang dilakukan oleh rakyat. Namun begitu, bagi seorang Muslim, demokrasi bukanlah agama atau akidah.

Karena negara kita menganut sistem demokrasi, maka pemungutan suara atau Pemilu adalah cara untuk memilih pemimpin dan orang-orang yang akan duduk di parlemen. Beberapa pendapat ulama dunia di bawah ini menguatkan pendapat, bahwa Pemilu bukan sesuatu yang kufur atau haram.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin

Menjawab pertanyaan dari para aktivis Islam di Kuwait, beliau menjawab,

"Saya berpendapat, bahwa mengikuti Pemilu adalah wajib. Wajib bagi kita memberikan pertolongan kepada orang yang kita nilai memiliki kebaikan. Sebab jika orang-orang baik tidak ikut serta, maka siapa yang menggantikan posisi mereka?

Orang-orang buruk, atau orang-orang yang tidak jelas keadaannya, orang baik bukan, orang jahat juga bukan, yang asal ikut saja semua ajakan. Maka, seharusnya kita memilih orang-orang yang kita pandang adanya kebaikan. 

Jika ada yang berkata, 'Kita memilih satu orang tetapi kebanyakan seisi majelis adalah orang yang menyelisihinya.' Kami katakan, 'Tidak apa-apa, satu orang ini jika Allah SWT jadikan pada dirinya keberkahan, dan dia bisa menyatakan kebenaran di majelis tersebut, maka orang itu akan memiliki dampak baginya'."

Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Khudhairi

Beliau ulama Arab Saudi, anggota Hai'ah At-Tadris di Universitas Islam Imam Muhammad bin Su'ud, Riyadh. Beliau ditanya tentang boleh tidaknya kaum Muslimin yang tinggal di Barat ikut Pemilu, yang notabene calon-calonnya adalah kafir.

"Kaum Muslimin yang tinggal di negeri non-Muslim, menurut pendapat yang benar adalah boleh berpartisipasi dalam pemilihan presiden di berbagai negara, atau memilih anggota majelis perwakilan, jika hal itu dapat menghasilkan maslahat bagi kaum Muslimin atau mencegah kerusakan bagi mereka. Dan, hujjah dalam hal ini adalah adanya berbagai kaidah syariat umum yang memang mendatangkan berbagai maslahat dan mencegah berbagai kerusakan, dan memilih yang lebih ringan di antara dua keburukan, dan mestilah bagi kaum Muslimin di sana mengatur diri mereka, menyatukan kalimat mereka, agar mereka memperoleh pengaruh yang jelas. Kehadiran mereka bisa memberikan kontribusi atas berbagai keputusan-keputusan penting, khususnya bagi kaum Muslimin di negeri itu dan lainnya".

(ref. Fatawa Istisyarat al-Islam al-Yaum, Jilid 4, hal. 506)

Syaikh Abdul Muhsin al-Ubaikan

Beliau berpendapat tentang berpartisipasi dalam Pemilu.

"Berpartisipasi dalam Pemilu adalah suatu hal yang dituntut untuk dilakukan supaya orang yang jahat tidak bisa menjadi anggota dewan untuk menyebarluaskan kejahatan mereka. Inilah yang difatwakan oleh Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin."

Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah

Berikut ini fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah yang menyatakan bolehnya pemilihan dengan syarat adanya maslahat bagi kaum Muslimin.

"Tidak boleh bagi seorang Muslim mencalonkan dirinya, dengan itu dia ikut dalam sistem pemerintahan yang tidak menggunakan hukum Allah, dan menjalankan bukan syariat Islam. Maka tidak boleh bagi seorang Muslim memilihnya atau selainnya yang bekerja untuk pemerintahan seperti itu, KECUALI jika orang yang mencalonkan diri itu berasal dari kaum Muslimin dan para pemilih mengharapkan masuknya dia ke dalamnya sebagai upaya memperbaiki agar dapat berubah menjadi pemerintah yang berhukum dengan syariat Islam, dan mereka menjadikan hal itu sebagai cara untuk mendominasi sistem pemerintahan tersebut. Hanya saja orang yang mencalonkan diri tersebut, setelah dia terpilih tidaklah menerima jabatan kecuali yang sesuai saja dengan syariat Islam."

(ref. Fatwa al-Lajnah ad-Daimah No. 4029, ditandatangani oleh Syaikh bin Baz, Syaikh Abdurrazzaq 'Afifi, Syaikh Abdullah Ghudyan, dan Syaikh Abdullah bin Qu'ud)

Fatwa Al-Majma' al-Fiqhi al-Islami

Dalam pertemuan ke-19 Rabithah 'Alam Islami, di Mekkah pada 22-27 Syawwal 1428H (3-8 November 2007M) dihasilkan fatwa bahwa hukum Pemilu tergantung keadaan di sebuah negara, di antaranya,

"Partisipasi seorang Muslim dalam Pemilu bersama non-Muslim di negeri non-Muslim, termasuk permasalahan as-Siyasah asy-Syari'ah yang ketetapan hukumnya didasarkan sudut pandang pertimbangan antara maslahat dan kerusakan, dan fatwa tentang masalah ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan zaman, tempat, dan situasi."

(ref. https://almoslim.net/node/170331)

Jadi, tidak benar memutlakkan keharamannya sebagaimana tidak benar juga memutlakkan kebolehannya. Semuanya disesuaikan dengan situasi yang berbeda-beda. Di Indonesia, inilah cara yang paling mungkin berpartisipasi bagi seorang Muslim untuk memperbaiki keadaan pemerintah negaranya. Selain itu, Indonesia adalah negeri dengan Muslim terbanyak, bukan negeri kafir walaupun sistem dan hukum yang berlaku belum islami.

Wallahu a'lam.

Menjawab Kegelisahan Aktivis Dakwah', penulis Farid Nu'man Hasan, hal.92-99>

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun