Sudah disadari semua, sejak pemilu 2014 terjadi polarisasi di masyarakat kita. Berawal dari perbedaan pilihan (dan dukungan) pada kedua Capres yang maju di pemilu 2014, kemudian terjadi keterbelahan sikap, perilaku, bahkan sampai 'kawan menjadi lawan'. Dan itu tidak berhenti di pasca pemilu.
Bahkan saat pemilu 2019 kondisinya semakin parah, dengan munculnya istilah cebong dan kampret atau kadrun (kadal gurun). Dan rupanya kondisi ini tidak berhenti (malah semakin bertambah parah) menjelang pemilu 2024 nanti. Walaupun di Pemilu nanti ada tiga pasangan calon Capres-Cawapres.
Kondisi di atas menjadi salah satu sebab munculnya kesan bahwa politik itu kotor. Tidak aneh kalau kemudian muncul anekdot yang mengatakan 'orang alim pun kalau terjun ke politik akan menjadi jahat'. Atau, 'malaikat pun kalau berpolitik akan menjadi setan'. Ini membuat antara agama dan politik terjadi relasi yang buruk.
Penyebab lain jeleknya hubungan antara agama dan politik adalah banyaknya kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan lainnya. Maraknya politisi -- anggota dewan maupun kepala daerah, atau menteri -- yang terjerat kasus korupsi, yang 'memakan' uang negara (dan dianggap uang rakyat juga) telah membuat masyarakat muak dengan politik. Apalagi beberapa dari politisi yang ditangkap KPK itu sebelumnya dianggap sebagai orang yang alim, jujur, atau memiliki kesan gak mungkin mencuri.
Sehingga muncul kesan, agama (Islam) yang membawa ajaran 'rahmatan lil 'alamin' (kesejahteraan untuk semesta alam) dianggap tidak layak disandingkan dengan politik. Antara agama dan politik dianggap berada di jalur yang berbeda, dan tidak pantas disatukan.
Padahal Islam turun untuk mengatur seluruh kehidupan manusia. Di surat al-Baqarah ayat 208, Allah SWT menyuruh kaum Muslimin untuk berislam secara menyeluruh (kafah). Termasuk politik.
Oleh karenanya perlu diluruskan pemahaman yang menganggap bahwa agama dan politik itu berseberangan. Karena sejatinya, agama dan politik itu bagai mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Memang tidak dipungkiri bahwa ada dua kutub pemikiran -- yang keduanya salah -- tentang relasi agama dan politik ini.
Satu pihak mengampanyekan agar agama dilibatkan dalam setiap pertimbangan politik. Gagasan ini dikenal sebagai teokrasi, pemerintahan berbasis agama. Konsekuensinya, agama menjadi payung tertinggi dalam setiap kebijakan politik.
Sementara ada pihak yang justru menolak campur tangan agama dalam urusan politik. Agama harus ditepikan dari diskursus publik dan dimengerti sebagai perkara privat yang hanya menyangkut kepentingan individu per individu. Agama tidak lebih dari urusan ritual yang menggambarkan dependensi manusia dengan tuhannya.