Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Relasi Agama dengan Politik, Sejalan atau Berseberangan?

3 Januari 2024   13:57 Diperbarui: 3 Januari 2024   13:57 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: istockphoto-995513712-612x612

Sudah disadari semua, sejak pemilu 2014 terjadi polarisasi di masyarakat kita. Berawal dari perbedaan pilihan (dan dukungan) pada kedua Capres yang maju di pemilu 2014, kemudian terjadi keterbelahan sikap, perilaku, bahkan sampai 'kawan menjadi lawan'. Dan itu tidak berhenti di pasca pemilu.


Bahkan saat pemilu 2019 kondisinya semakin parah, dengan munculnya istilah cebong dan kampret atau kadrun (kadal gurun). Dan rupanya kondisi ini tidak berhenti (malah semakin bertambah parah) menjelang pemilu 2024 nanti. Walaupun di Pemilu nanti ada tiga pasangan calon Capres-Cawapres.


Kondisi di atas menjadi salah satu sebab munculnya kesan bahwa politik itu kotor. Tidak aneh kalau kemudian muncul anekdot yang mengatakan 'orang alim pun kalau terjun ke politik akan menjadi jahat'. Atau, 'malaikat pun kalau berpolitik akan menjadi setan'. Ini membuat antara agama dan politik terjadi relasi yang buruk.


Penyebab lain jeleknya hubungan antara agama dan politik adalah banyaknya kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan lainnya. Maraknya politisi -- anggota dewan maupun kepala daerah, atau menteri -- yang terjerat kasus korupsi, yang 'memakan' uang negara (dan dianggap uang rakyat juga) telah membuat masyarakat muak dengan politik. Apalagi beberapa dari politisi yang ditangkap KPK itu sebelumnya dianggap sebagai orang yang alim, jujur, atau memiliki kesan gak mungkin mencuri.


Sehingga muncul kesan, agama (Islam) yang membawa ajaran 'rahmatan lil 'alamin' (kesejahteraan untuk semesta alam) dianggap tidak layak disandingkan dengan politik. Antara agama dan politik dianggap berada di jalur yang berbeda, dan tidak pantas disatukan.

Padahal Islam turun untuk mengatur seluruh kehidupan manusia. Di surat al-Baqarah ayat 208, Allah SWT menyuruh kaum Muslimin untuk berislam secara menyeluruh (kafah). Termasuk politik.


Oleh karenanya perlu diluruskan pemahaman yang menganggap bahwa agama dan politik itu berseberangan. Karena sejatinya, agama dan politik itu bagai mata uang yang tidak dapat dipisahkan.


Memang tidak dipungkiri bahwa ada dua kutub pemikiran -- yang keduanya salah -- tentang relasi agama dan politik ini.


Satu pihak mengampanyekan agar agama dilibatkan dalam setiap pertimbangan politik. Gagasan ini dikenal sebagai teokrasi, pemerintahan berbasis agama. Konsekuensinya, agama menjadi payung tertinggi dalam setiap kebijakan politik.


Sementara ada pihak yang justru menolak campur tangan agama dalam urusan politik. Agama harus ditepikan dari diskursus publik dan dimengerti sebagai perkara privat yang hanya menyangkut kepentingan individu per individu. Agama tidak lebih dari urusan ritual yang menggambarkan dependensi manusia dengan tuhannya.


Sebagaimana fungsi agama yang kita pahami, yaitu sebagai petunjuk atau pedoman moral dan etika, yang membantu manusia membedakan antara tindakan yang benar dan salah. Maka, dalam politik pun idealnya agama dijadikan pedoman moral atau etika dalam berpolitik.


Al-Maududi, seorang pemikir besar kontemporer. menyatakan bahwa Islam adalah agama paripurna yang memuat prinsip-prinsip yang lengkap tentang semua segi kehidupan yang meliputi moral, etika, serta petunjuk di bidang politik, sosial, dan ekonomi.


Sehingga, alih-alih terjadi pembenturan dalam relasinya, agama dan politik selayaknya berjalan beriringan.


Agama menjaga para pelakunya (politisi) dari berbuat amoral, seperti korupsi, nepotisme, ingkar janji, dan perilaku-perilaku zalim lainnya. Dan politik dapat 'membantu' umat beragama dalam melaksanakan aturan-aturan agama dan mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan mungkar.


Rasulullah SAW bersabda,

"Barangsiapa yang melihat kemungkaran (terjadi) di antara kamu, maka ubahlah dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka ubahlah dengan lidahnya. Jika ia tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman." (Riwayat Muslim)


Pengertian ubah dengan tangan adalah dengan kekuasaan yang dimiliki, termasuk kekuasaan jabatan. Dan kekuasaan (jabatan) saat ini, tidak bisa tidak, harus diraih melalui jalan politik.

Agama dan politik harus sejalan, saling menguatkan. Sungguh indah apa dikatakan Ibnu Taimiyyah untuk menggambarkan idealnya relasi agama (Islam) dengan politik (kekuasaan).


"Agama Islam tidak akan bisa tegak dan abadi tanpa ditunjang oleh kekuasaan, dan kekuasaan tidak bisa langgeng tanpa ditunjang dengan agama."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun