Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Perang Badar: The Decisive War (6)

1 April 2023   17:13 Diperbarui: 1 April 2023   17:17 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab 5

Panas di Mekkah

Dua belas jam setelah pasukan Muslim menyergap kafilah dagang Quraisy.

Heboh. Kehebohan melanda kota Mekkah. Kabar yang dibawa beberapa orang yang berhasil lolos dalam penyergapan itu membuat suasanan Mekkah di terik siang itu bertambah panas. Beberapa kali memang kafilah dagang mereka berusaha dicegat pasukan Muslim, dan beberapa kali itu kafilah mereka selamat. Kaget. Tak menyangka kali ini nahas. Marah. Karena bukan hanya barang dagangan mereka yang dirampas, namun meminta korban jiwa pimpinan rombongan dagang. Serta dua orang tertangkap dan ditawan.

Kemarahan meronai wajah-wajah pemuka Quraisy yang berkumpul di sebuah bangunan kecil, terletak beberapa meter dari Ka'bah. Tempat di mana mereka biasa membincangkan berbagai persoalan. Namun, hari ini hanya satu masalah yang mereka bicarakan. Penyerangan kaum Muslimin terhadap kafilah dagang mereka.

Matahari yang hampir mencapai puncak siang semakin memperlihatkan kuasa panasnya. Garangnya membakar atap bangunan kecil itu, menambah panas suasana di dalamnya, yang penuh gejolak amarah. Bercampur dengan bau arak.

Naufal bin Abdullah masih terlihat lelah dan syok. Lumuran darah dan anak panah yang menancap di leher sahabatnya, Amr bin al-Hadhrami masih terrekam dalam kepalanya. Menambah emosinya saat dia menceritakan peristiwa itu di hadapan para tokoh Quraisy. Dengan tersengal-sengal dia mengisahkan peristiwa yang dialaminya semalam.

"Ini tidak bisa dibiarkan!" Abu Jahal mengeluarkan suara kerasnya, setelah mereguk arak. Dia langsung menyela sesaat setelah Naufal mengakhiri ceritanya. Matanya memerah, "Makin lama, si Muhammad semakin kurang ajar."

Abu Jahal nama aslinya adalah Amr bin Hisyam. Dia merupakan salah seorang pemuka Quraisy dari Bani Makhzum, dan dialah yang paling keras penolakannya terhadap dakwah Rasulullah. Dia merasa terancam dengan ajaran baru yang dibawa Rasulullah. Ajaran yang merombak total kepercayaan masyarakat Quraisy. Ajaran yang menurutnya sangat mengganggu bahkan menjatuhkan dia dan koleganya dari posisi sebagai pemuka Quraisy. Sebagai orang yang harus dihormati di kota Makkah.

Nama Abu Jahal atau bapak kebodohan disematkan kepada Amir bin Hisyam karena sikapnya yang keterlaluan dalam mencegah dakwah Rasulullah Saw. Rasulullah memberi nama Abu Jahal (bapak kebodohan) karena memilikin lima sikap orang bodoh, yaitu: tidak tahu, tidak mau tahu, mencegah orang lain tahu, sok tahu, dan tidak percaya kepada yang tahu.

Padahal dia sebelumnya dianggap orang yang cerdas dan bijaksana, sehingga orang-orang Quraisy memanggilnya dengan sebutan Abul Hakam (bapak kebijaksanaan).

Kebenciannya kepada Rasulullah memuncak saat di suatu hari dia dan seluruh kaum Quraisy diminta berkumpul oleh Rasulullah di bukit Safa. Rasulullah meminta semua yang berkumpul untuk mengimani Allah, Tuhan Yang Satu, dan meyakini balasan neraka untuk yang menolak.

Bagi Abu Jahal pernyataan dari Rasulullah tersebut merupakan tanda pernyataan perang untuk melawan hegemoni dia dan pemuka Quraisy lainnya. Kebenciannya yang sangat sejak itu semakin memuncak saat mendengar Rasulullah berhasil merampas kafilah dagangan mereka dan membunuh pemimpinnya, Amr bin al-Hadhrami.

 

"Sudah lama mereka merongrong kafilah dagang kita. Rupanya, kegagalan-kegagalan mereka selama ini semakin membuat mereka bernafsu. Sekarang mereka berani menyerang, bahkan sudah terang-terangan membunuh." Utbah bin Rabiah tak kalah emosi. Janggut lebatnya basah oleh leleran arak.

Utbah bin Rabi'ah adalah pemuka Bani Abdus Syams. Abdus Syam sendiri adalah saudara Hasyim, buyut Rasulullah.

"Bukan barang dagangan yang berhasil mereka rampas yang aku masalahkan. Walaupun itu memang kita rugi. Tapi ada yang lebih merugikan kita, dibanding kehilangan barang." Abu Jahal mengedarkan tatapannya ke wajah semua yang hadir.

Yang ditatap saling berpaling, menoleh ke kiri dan kanan, berbalas tatap. Tanda mereka tidak mengerti yang dimaksud Abu Jahal.

"Apa maksudmu, wahai Amr?" Umayyah bin Khalaf tak sabar membendung kepenasaran. Umayyah adalah pemilik Bilal bin Rabbah. Budak asal Habasyah yang kemudian menjadi pengikut Rasulullah. Umayyah bin Khalaf masih memendam amarah karena budaknya itu, walau sudah disiksa dengan siksaan yang sangat keji, tetap keukeuh tidak mau melepaskan kepercayaannya pada ajaran Muhammad.

 

"Harga diri kita dilecehkan. Pasukan Muhammad telah menjatuhkan harga diri kita di mata kabilah-kabilah lain. Ini aib bagi kita," tegas Abu Jahal.

Sejenak kemudian gumaman berdengung, memenuhi ruangan yang tak begitu luas itu.

"Kau benar! Selama ini kita ditakuti kabilah lain. Kita tidak pernah kalah berperang melawan kabilah mana pun. Tapi sekarang, Muhammad dengan seenaknya saja merampas barang dagangan sekaligus membunuh pedagang kita." Kali ini Walid bin Utbah turut berbicara. Dengan mata merah dia bangkit dari duduknya, mengacungkan tangan kanannya yang memegang gelas. Sisa-sisa arak bahkan masih terlihat di sudut mulutnya.

"Ya, dan sekarang mereka bahkan berani menodai bulan yang mereka muliakan sendiri," tambah Qushay bin Kilab.

"Apa maksudmu, Qushay?" tanya Abu Jahal.

"Ya! Mereka melakukan penyerangan, bahkan pembunuhan di bulan Rajab. Bulan di mana tuhan mereka melarang melakukan peperangan, dan semua kabilah menyepakati," jelas Qushay bin Kilab.

Kembali suara gumaman memenuhi ruangan kecil itu. Semua yang hadir menggerutu menunjukkan kekesalan, mendengar penjelasan Qushay. Suasana pun semakin meradang.

"Kita harus membalas. Kita harus tunjukkan bahwa kita bukan kaum yang lemah, yang akan diam saja kalau diserang. Sekaligus kita harus hentikan aksi mereka merampok barang dagangan kita." Hindun binti Utbah, satu-satunya wanita dalam pertemuan itu akhirnya mengeluarkan suara. 

Hindun binti Utbah merasa harus hadir di pertemuan itu. Merasa harus mewakili suaminya, Abu Sufyan, yang sedang berdagang ke Syam.

"Setuju. Kita tidak boleh diam. Kita harus melakukan tindakan pada mereka," timpal Walid bin Utbah.

"Dan ingat." Hindun binti Utbah bangkit dan berteriak seraya mengangkat tangan kanannya, mengharapkan semua memperhatikan apa yang akan disampaikannya. Gelang-gelang dari emas yang memenuhi setengah lengannya berbunyi gemirincing.

"Suamiku sedang berada di Syam. Beberapa hari lagi waktunya dia pulang. Aku khawatir rombongan dia akan dirampok juga oleh Muhammad dan kawan-kawannya," lanjut Hindun. Tatapannya mengedar ditujukan ke semua pemuka Quraisy.

Para pemuka Quraisy pun saling tatap. Mereka baru tersadarkan, ada rombongan dagang yang dipimpin Abu Sufyan yang beberapa hari lagi akan kembali dari Syam.

"Kita harus mempersiapkan diri untuk mengamankan rombongan dagang suamiku." Melihat para pemuka Quraisy terdiam, Hindun meneruskan lontaran kemarahannya. "Harus diingat juga, bersana barang dagangan yang dibawa suamiku, ada barang-barang dagangan kalian juga."

"Ya! Malah kudengar waktu berangkat pun rombongan Abu Sufyan hampir dicegat. Tapi tuhan kita masih menyelamatkan. Rombongan dagang kita berhasil meloloskan diri," kata Umayyah bin Khalaf.

Mendengar itu, semakin memerah wajah Abu Jahal, Utbah bin Rabiah, Khusay bin kilab, dan yang lainnya. Tak terbayangkan kalau hasil perdagangan mereka semua berhasil direbut kaum Muslimin.

"Kurang ajar! Demi Latta dan Uza. Kita harus mengirim pasukan untuk mengawal Abu Sufyan." Ikrimah bin Abu Jahal berdiri, jiwa mudanya terpancing. "Bahkan kalau perlu kita serang langsung ke Yatsrib."

Merasa belum cukup menumpahkan kemarahannya, Ikrimah terus berteriak. "Kalau kita tidak segera bertindak, Muhammad dan pengikutnya akan semakin pongah. Bisa saja suatu saat, dia tidak hanya mencegat kafilah dagang kita, tapi menyerang ke sini." Wajah Ikrimah bin Abu Jahal semakin merah karena marah, juga karena pengaruh arak.

Mendengar perkataan Ikrimah bin Abu Jahal semua terdiam. Roman muka mereka pun menggambarkan kemarahan sekaligus kengerian. Belum setahun Rasulullah SAW hijrah ke Yatsrib, kaum Muslimin sudah menunjukkan kekuatannya.

"Betul, kita harus mempersiapkan pasukan. Bukan untuk menyerang Yatsrib, tetapi berjaga-jaga mengamankan Abu Sufyan dan rombongannya." Abu Jahal berdiri memegang pundak anaknya, Ikrimah. Menenangkannya.

Hindun tersenyum mendengar keputusan Abu Jahal. Kekhawatirannya akan keselamatan suaminya berkurang.

~~~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun