Sejenak kemudian gumaman berdengung, memenuhi ruangan yang tak begitu luas itu.
"Kau benar! Selama ini kita ditakuti kabilah lain. Kita tidak pernah kalah berperang melawan kabilah mana pun. Tapi sekarang, Muhammad dengan seenaknya saja merampas barang dagangan sekaligus membunuh pedagang kita." Kali ini Walid bin Utbah turut berbicara. Dengan mata merah dia bangkit dari duduknya, mengacungkan tangan kanannya yang memegang gelas. Sisa-sisa arak bahkan masih terlihat di sudut mulutnya.
"Ya, dan sekarang mereka bahkan berani menodai bulan yang mereka muliakan sendiri," tambah Qushay bin Kilab.
"Apa maksudmu, Qushay?" tanya Abu Jahal.
"Ya! Mereka melakukan penyerangan, bahkan pembunuhan di bulan Rajab. Bulan di mana tuhan mereka melarang melakukan peperangan, dan semua kabilah menyepakati," jelas Qushay bin Kilab.
Kembali suara gumaman memenuhi ruangan kecil itu. Semua yang hadir menggerutu menunjukkan kekesalan, mendengar penjelasan Qushay. Suasana pun semakin meradang.
"Kita harus membalas. Kita harus tunjukkan bahwa kita bukan kaum yang lemah, yang akan diam saja kalau diserang. Sekaligus kita harus hentikan aksi mereka merampok barang dagangan kita." Hindun binti Utbah, satu-satunya wanita dalam pertemuan itu akhirnya mengeluarkan suara.Â
Hindun binti Utbah merasa harus hadir di pertemuan itu. Merasa harus mewakili suaminya, Abu Sufyan, yang sedang berdagang ke Syam.
"Setuju. Kita tidak boleh diam. Kita harus melakukan tindakan pada mereka," timpal Walid bin Utbah.
"Dan ingat." Hindun binti Utbah bangkit dan berteriak seraya mengangkat tangan kanannya, mengharapkan semua memperhatikan apa yang akan disampaikannya. Gelang-gelang dari emas yang memenuhi setengah lengannya berbunyi gemirincing.
"Suamiku sedang berada di Syam. Beberapa hari lagi waktunya dia pulang. Aku khawatir rombongan dia akan dirampok juga oleh Muhammad dan kawan-kawannya," lanjut Hindun. Tatapannya mengedar ditujukan ke semua pemuka Quraisy.