(Based true story)
Sore-sore menjelang Maghrib telepon genggamku berbunyi. Saat kutengok layarnya, ingin tahu siapa yang menelepon, terkaget akutuh. Sangat kaget malah. Yang menelepon seorang janda muda, rumahnya persis di belakang rumahku.
'Mau apa dia, ya, menelepon?' tanyaku sendiri dalam hati, sebelum telepon genggamku kuambil.
Oh iya, perlu dijelaskan dulu. Soalnya pasti ada yang bertanya, kenapa di HP-ku ada nomor seorang janda.
Jadi begini. Entah karena alasan apa, warga di perumahanku memaksa aku jadi ketua RT, menggantikan ketua RT sebelumnya yang mengundurkan diri. Dipaksa warga seperum, ya ... mau tidak mau akhirnya nrimo saja kepercayaan mereka.
Karena jadi ketua RT, otomatis aku harus tahu nama-nama wargaku, kan. Sekaligus dengan statusnya. Bukan hanya itu, aku pun simpan semua nomor kontak warga di HP-ku.
Jadi begitu. Kembali ke cerita.
Siapa yang gak bakal kaget, menjelang Maghrib ditelepon seorang janda. Masih muda lagi dianya. Saat itu aku kaget plus takut-takut. Bagaimana gak takut, saat itu aku sedang duduk-duduk santai dengan ibu RT.
"Bu Lu**** nelepon!" kataku pada istriku, menyebutkan nama Si Janda, setelah HP-ku ada di genggamanku.
"Hah! Mau apa dia?" tanya istriku kaget. Kayaknya kagetnya melebihi kekagetanku.
"Ya ... gak tahu, dijawab aja belum!" jawabku ketus.
Aku segera menekan tombol jawab. Tak lupa saya aktifkan speaker-nya biar istriku ikut mendengar.
"Assalamu'alaikum, Bu. Ada apa, ya. Apa ada yang bisa saya bantu?" tanyaku.
"Wa'alaikum salam, Pak RT. Iya, nih, mau minta tolong. Saya ... saya terkunci di dalam rumah," jawabnya terbata-bata, sepertinya dia ragu-ragu mau minta tolong.
Mendengar kalimat 'minta tolong' dan 'terkunci di dalam rumah', tentu saja aku makin kaget. Istriku tak kalah kaget. Malah doi sampai melotot.
"Terkunci bagaimana maksudnya, Bu?" tanyaku memastikan.
"Aduh ... bagaimana ngejelasinnya, ya. Pokoknya sekarang saya gak bisa keluar rumah, Pak RT. Saya terkunci di dalam rumah," jelasnya. "Tolong, ya, Pak RT."
Aku berpaling pada istriku, sambil mengangkat kedua bahu. Istriku membalas dengan mengangkat kedua bahunya juga.
'Waduh ... apakah ini modus?' pikirku. Kok, bisa-bisanya aku tiba-tiba teringat pada cerita di buku-buku stensilan yang pernah dibaca waktu zaman kuliahan dulu. Sering kubaca, bagaimana seorang janda ber-modus, pura-pura minta tolong seseorang untuk datang ke rumahnya, lalu ... begitulah.
"Baik ... baik, Bu. Saya ke sana sekarang."
Berkata demikian aku berpaling ke arah istriku, dan bertanya, "Ikut?"
Tentu saja istriku ikut. Walaupun dia tidak menjawab. Dia pikir mungkin 'terkunci di dalam rumah' itu benar-benar modus. Modus supaya aku datang ke rumahnya.
Berdua kami pun berjalan ke rumah Si Janda.
'Sayang istriku ada, mungkin saja ini benar-benar modus.' Gak jelas, apakah saya berkata demikian dalam hati, atau tidak.
Kami perlu berkeliling, karena rumahnya persis di belakang rumahku namun di blok yang berbeda. Jadi rumahku dan rumah Si Janda itu saling belakang-membelakangi. Model posisi rumah-rumah di perumahan begitu.
Sampai di rumahnya, betul saja. Si Janda sedang berdiri di balik jendela rumahnya. Dan kulihat pula anak laki-lakinya sedang duduk di depan rumah.
"Kenapa, Bu?" Istriku langsung inisiatif bertanya, sambil tersenyum. Tapi menurutku senyum istriku kali ini aneh. Lain dari biasanya.
"Itu, Bu. Anak saya si Adi lagi marah-marah, HP-nya rusak, gak bisa maen game. Dia lalu keluar rumah dan mengunci pintu dari luar," jawab Si Janda.
Aku langsung berpaling ke Si Anak yang sedang duduk. "Adi kenapa marah-marah, ga kasihan sama ibu? Itu ibu terkunci gak bisa keluar."
Boro-boro menjawab, si Adi, yang masih kelas 5 SD, hanya melengos.
"Lalu kuncinya sekarang di mana, Bu?" tanya istriku lagi.
"Itulah dia, Bu. Kuncinya dilempar Adi ke halaman rumah yang depan itu," jawab Si Janda sambil menunjuk rumah yang ada di depan rumahnya.
Aku pun terpaksa memanggil Pak Dadang, pemilik rumah yang di depan rumah Si Janda, untuk minta izin mengambilkan anak kunci rumah Si Janda.
Kebetulan Pak Dadang ada. Cukup lama aku, dibantu Pak Dadang, mencari anak kunci rumah Si Janda. Sementara istriku sibuk membujuk Si Adi untuk tidak marah-marah lagi.
Pas adzan Maghrib terdengar saat anak kunci rumah Si Janda ketemu.
"Tuh, udah Maghrib. Ayo Adi masuk rumah. Karena sekarang mau malam, besok saja HP-nya diservis, ya?" Istriku terus membujuk.
Aku pun segera membuka pintu rumah Si Janda. Bersamaan dengan itu istriku berhasil membujuk Si Adi untuk mau masuk ke rumah.
Kemudian anak kuncinya aku lepas dari pintu dan menyerahkannya ke Si Janda. Saya gak tahu, apakah saat menyerahkan anak kunci itu saya mengedipkan mata sebelah kiri atau tidak.
Yang jelas terlihat olehku Si Janda malah yang mengedipkan mata sambil berkata, "Terima kasih, ya Pak RT."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H