Hari ini, seperti biasanya, saya berdesakkan di dalam bis dengan orang-orang yang akan berangkat bekerja. Sebagaimana mereka, saya pun akan bekerja.
Oh, tidak! Saya -- naik bis ini -- bukan akan bekerja, melainkan memang sedang bekerja.
Sedang bekerja?
'Anda kondektur?' itu mungkin pertanyaan Anda.
Bukan! Bukan pula supir. Pasti Anda akan mengira saya supir, saat saya menjawab bukan kondektur.
Lalu, pekerjaan apa yang saya lakukan di dalam bis?
Daripada menjawab pertanyaan itu, baiknya ikuti saja apa yang akan saya ceritakan ini (saat ini sedang di dalam bis yang penuh penumpang).
Saya bersyukur, walaupun penuh, penumpang penuh, saya masih kebagian tempat duduk. Dan kebetulan pula yang duduk di kursi yang sama dengan seorang ibu berumur 50 tahunan. Seorang ibu yang seperti suka bercerita. Atau tepatnya sangat suka apabila ada orang yang mau mendengarkan cerita atau apa pun yang dikatakannya.
"Jadi Ibu sekarang ini mau menemui putra ibu?" Saya menanggapi sekali-kali.
"Iya, Nak. Anak saya itu kuliah di kota ini. Biasanya dia suka pulang seminggu sekali. Tapi sampai sekarang, sudah mau tiga minggu tidak pulang. Katanya, sih, sedang ujian dan sedang kerja praktik. Jadi ga bisa pulang." Mendapat tanggapan dari saya, tambah semangat si Ibu bercerita.
"Daripada lama ga ketemu anak, ya sudah, saya saja yang pergi menengoknya. Sebenarnya anak saya sudah melarang saya datang menengoknya. Sekarang pun, saya tidak bilang ke dia, mau dating ke kosannya. Biarlah, hitung-hitung ngasih kejutan buat dia." Sambung Si Ibu meneruskan ceritanya.
Mendengar ceritanya itu saya pun tersenyum. 'Akan sangat mudah, nih, kerjaku.' Saya berbicara di dalam hati tentunya.
"Ibu kelihatannya banyak membawa barang. Oleh-oleh untuk anaknya tercinta, ya?" pancing saya.
"Begitulah, Nak! Maklum, anak-anak sekarang belum bisa mandiri, maunya dikirimi terus. Sekalian ini juga bawa uang buat bayar uang kuliah. Katanya seminggu lagi masuk semester baru, semua harus dilunasi."
Mendengar kata uang semakin lebar senyum saya. 'Rezeki nomplok, nih.' Tentu saja saya, lagi-lagi, berbicara di dalam hati.
Saya kemudian membuka tutup botol air mineral dan meneguknya. Sengaja saya perlihatkan pada si Ibu gestur menikmati air minum itu. Dan, si Ibu seperti jadi kehausan melihatnya. Segera saya keluarkan sebuah botor air mineral lain dari tas saya, dan menyodorkannya kepada si Ibu.
Tentu saja si Ibu dengan senang hati menerimanya.
"Wah ... wah ... terima kasih sekali, Nak. Banyak bercerita mulut ibu jadi terasa kering. Tak menyangka di kota besar seperti ini masih ada orang yang baik hati." Berkata demikian si Ibu sambil membuka segel plastic yang menempel di tutup botol. Lalu membuka tutup botol dan menempelkan ke bibirnya. Beberapa tegukan sekali nempel. Terlihat sangat haus. Tentu saja saya merasa sangat senang.
"Pelan-pelan, Bu, minumnya. Nanti keselek, lho!" nasihatku.
"Hehe ... iya, Nak. Saking hausnya. Airnya juga kerasa nikmat, segar. Pas diminum saat panas-panas seperti ini," jawabnya.
Lima menit.
Sepuluh menit.
Si Ibu terlihat kelelahan, dan juga kepanasan. Dia tertidur. Kepalanya bersandar ke jendela bis. Lelap sekali. Padahal goyangan-goyangan bis seharusnya tidak membuatnya tidur lelap.
Saya pun mempersiapkan diri untuk 'turun' pekerjaan saya hampir selesai. Saatnya menyempurnakan. Tanpa menarik perhatian penumpang lain saya berdiri dan minta bis berhenti.
Saya, dengan susah payah berjalan di antara penumpang yang berdiri karena membawa tas besar, berusaha berjalan kea rah pintu bis, lalu turun.
Bis pun melanjutkan perjalanan.
Saya hanya tersenyum. Saya tidak peduli, saat di terminal nanti, si kondektur akan kebingungan oleh sikap linglung si Ibu yang kehilangan barangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H