Tak dipungkiri problem yang dihadapi umat Islam saat ini adalah perbedaan pendapat, khususnya dalam masalah peribadahan. Saya katakan problem, karena alih-alih perbedaan pendapat ini dijadikan sarana untuk saling berbagi ilmu atau berdiskusi, malahan dijadikan poin untuk 'menyerang' pihak yang berbeda dengan cara menyalahkannya, dengan berlindung di balik makna bidah.
Penyematan diksi bidah pada aktivitas ibadah, yang dianggap tidak ada dasar hukumnya, semakin sering dan nyaring disuarakan satu kelompok, yang tentu saja menyinggung (merasa disalahkan) kelompok yang lain.
Padahal, perbedaan dalam hal peribadahan telah ada sejak dahulu, bahkan sejak jauh sebelum kelompok yang sering mengumbar kata bidah itu muncul.
Munculnya kelompok yang sering menuduh telah melakukan bidah pada umat Islam yang melakukan praktik peribadahan yang berbeda dengan mereka, telah memperuncing masalah perbedaan pendapat ini, yang sebelumnya sudah saling memahami.
Contoh yang masih hangat adalah di bulan Rabiul Awal kemarin, saat perayaan Maulid Nabi. Ada tiga kubu umat Islam menyikapi perayaan Maulid Nabi ini. Yaitu, ada yang merayakannya, ada yang tidak merayakan tetapi tetap menghormati yang merayakan, dan ada yang mencemooh kubu yang merayakan, karena menganggapnya bidah.
Munculnya kubu yang mencemooh pihak yang merayakan Maulid Nabi ini, disadari atau tidak telah merusak ukhuwah Islamiyah yang selama ini terjalin kokoh.
Kembali ke permasalahan perbedaan pendapat dalam peribadahan. Mungkin akan muncul pertanyaan, 'Kalau sumbernya sama dari Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw, mengapa terjadi perbedaan dalam pelaksanaan ibadah di zaman sekarang ini?'
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, sebaiknya kita pahami dahulu hakikat perbedaan.
Secara umum, perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan. Allah Swt sendiri yang berkehendak menciptakan manusia dengan segala perbedaannya. Sebagaimana firman-Nya di surat al-Hujurat ayat ke-13.
Baca juga: Toleransi yang Diajarkan Rasulullah"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
Juga di surat ar-Rum ayat ke-22,
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui."
Dua ayat di atas hendaknya menjadi landasan untuk memahami bahwa perbedaan itu sebuah realita yang harus diterima, tanpa harus saling menonjolkan perbedaan masing-masing. Apalagi mengklaim sebagai yang lebih baik dibandingkan yang lain. Termasuk dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam masalah peribadahan.
Dalam hal beribadah, ulama telah membagi perbedaan tersebut ke dalam dua hukum. Perbedaan yang dilarang (tidak boleh) dan perbedaan yang dibolehkan.
Perbedaan yang boleh adalah perbedaan dalam perkara furu'. Yang dimaksud dengan perkara furu' adalah hal-hal yang zhanni atau mengandung dugaan, multi interpretatif, dan memang diperselisihkan oleh para ulama.[1]
Sedangkan perbedaan yang tidak boleh adalah perbedaan dalam perkara ushul. Yang dimaksud dengan perkara ushul adalah hal-hal yang qath'i, jelas, dan telah disepakati oleh para ulama.
Dan yang harus dijadikan acuan dalam menentukan sesuatu masuk perkara ushul dan furu' adalah Ilmu Ushul Fiqih dan kaidah bahasa Arab.
Sebab-sebab Perbedaan dalam Perkara Furu'
Terjadinya perbedaan dalam perkara furu' sangat mungkin terjadi karena faktor-faktor berikut, Pertama, perbedaan kemampuan akal para ulama dalam menyimpulkan ayat atau hadis yang multi interpretatif. Dua ayat Al-Quran di atas telah menjelaskan bahwa manusia diciptakan dengan kondisi berbeda-beda, termasuk dalam kapasitas akalnya.
Kedua, perbedaan informasi dan ilmu yang dimiliki para ulama. Maka sangat mungkin ada suatu hadis atau ilmu tertentu yang sampai kepada beberapa ulama tertentu dan belum atau tidak sampai kepada ulama yang lain. Sehingga Imam Malik berkata kepada Abu Ja'far: "Sesungguhnya para sahabat Rasulullah telah mendatangi berbagai kota, dan setiap kaum itu memiliki ilmu tertentu. Maka jika seseorang ingin menggiring mereka kepada satu pendapat, niscaya upaya ituhanya akan menimbulkan kekacauan."
Ketiga, perbedaan lingkungan, situasi dan kondisi. Itulah sebabnya Imam Syafi'i memberikan fatwa lama (qaul qadim) di Irak, kemudian memunculkan fatwa baru (qaul jadid) ketika beliau berada di Mesir.
Keempat, perbedaan ketentraman hati dalam menilai suatu riwayat hadits. Maka, terkadang kita melihat perawi tertentu dianggap tsiqah (dipercaya) oleh Imam Fulan sementara tidak demikian menurut Imam yang lain, karena informasi tertentu yang mungkin tidak diketahui oleh yang pertama.
Kelima, perbedaan dalam menempatkan dalil yang harus didahulukan dari yang lain. Maka mungkin ada ulama yang mendahulukan perbuatan sahabat atas khabar ahad, sementara yang lain tidak melihatnya demikian.[2]
Poin-poin di atas akan lebih jelas jika kita cermati dengan melihat perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah Saw.
Perbedaan Pendapat di Kalangan Sahabat
Kalau ada yang mengatakan perbedaan pendapat bisa dihilangkan, dan semuanya harus satu pemahaman dalam memahami sebuah dalil, maka seharusnya di zaman Rasulullah Saw. masih hidup tidak akan terjadi perbedaan pendapat. Padahal kenyataannya, sejarah membuktikan, di zaman Rasulullah Saw. pun pernah terjadi perbedaan pendapat dalam menafsirkan sabda Beliau di kalangan para sahabat.
Pasca perang Ahzab, atau sering disebut juga perang Khandaq (parit), Rasulullah Saw yang mendapat informasi melalui wahyu, bahwa Bani Quraizhah telah mengkhianati perjanjian, langsung mengirim pasukan untuk memerangi mereka.
Bani Quraizhah ini satu-satunyanya kaum Yahudi yang masih tinggal di Madinah, karena masih terikat perjanjian dengan Rasulullah Saw. Namun, saat kaum Muslimin mendapat serangan dari pasukan Ahzab (sekutu), yaitu gabungan dari pasukan Quraisy, Yahudi dan Bani Ghatafan, Bani Quraizhah diam-diam mendukung pasukan Ahzab dan berencana menyerang kaum Muslimin dari dalam kota Madinah.
Karena pemberontakan atau pengkhianatan yang dilakukan mereka itu, maka Rasulullah Saw. menyerang mereka dengan mengirim pasukan.
Saat pasukan Muslim akan berangkat ke perkampungan Bani Quraizhah, Rasulullah Saw. berpesan,
"Janganlah seseorang di antara kalian mengerjakan salat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah". (HR. Bukhari no. 4119)
Pasukan pun berangkat. Namun, saat masih di tengah perjalanan, waktu salat Ashar tiba. Maka terjadi perbedaan pendapat di antara pasukan Muslim tersebut. Sebagian pasukan melaksanakan salat Ashar, dan sebagian pasukan lagi tidak. Namun, tidak terjadi perselisihan saat itu, masing-masing pihak mempunyai pendapat yang berbeda dalam menafsirkan pesan Rasulullah Saw. di atas.
Pihak yang melakukan salat (di tengah perjalanan) memahami bahwa perintah Rasulullah Saw. untuk salat di perkampungan Bani Quraizhah itu adalah bentuk perintah untuk al-isti'jal (agar bersegera sampai di perkampungan Bani Quraizhah) sebelum waktu salat Ashar tiba. Atau dalam arti lain, harus sampai di perkampungan Bani Quraizhah sebelum waktu salat Ashar tiba.
Sementara pihak yang tidak melaksanakan salat Ashar, memahami bahwa perintah Rasulullah Saw. tersebut secara tekstual dan sebagai bentuk tarjih (penguatan) terhadap larangan yang bersifat khusus atas larangan yang bersifat umum, yaitu mengakhirkan salat. Karenya mereka melakukan salat Ashar di perkampungan Bani Quraizhah, walaupun waktunya sudah lewat.
Perbedaan Pendapat Bukanlah Dosa
Kedua kelompok tadi tidak saling menyalahkan dan tidak saling menganggap kelompoknya yang benar. Mereka pun menyampaikan kejadian itu kepada Rasulullah. Namun, Rasulullah Saw. tidak menegur atau mencela pihak mana pun dari mereka yang berbeda pendapat.
Nyata-nyata terjadi perbedaan pendapat bahkan sampai perbedaan dalam pelaksanaan. Apalagi yang dijadikan objek perbedaan pendapat dalam kisah di atas adalah bukan masalah furu' melainkan masalah pokok (salat wajib), tetapi tidak menjadikan mereka saling mencela, saling menyalahkan, atau mem-bid'ah-kan.
Kisah ini setidaknya menjelaskan kepada kita, bahwa tidaklah tercela mengambil makna sesuai teks hadis, sebagaimana pula tidak tercela apabila mengambil kesimpulan dari sebuah nash suatu makna yang mengkhususkannya.
Sehingga, tidaklah berdosa apabila ada yang berselisih (berbeda) pendapat dalam masalah-masalah furu', walaupun misalkan dalam memahami itu salah. Sebab Rasulullah Saw. telah bersabda,
"Jika seorang hakim mengadili dan berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala. Dan jika seorang hakim berijtihad, lantas ijtihadnya salah (meleset), maka baginya satu pahala". (HR. Bukhari No. 7352)
Bagaimana Menyikapi Perbedaan?
Kita sekarang hidup 15 abad setelah era Rasulullah Saw, dan kita menggunakan dalil-dalil dalam beribadah hasil ijtihad para Imam Mazhab, para fuqoha, para ulama, yang juga hidup ratusan tahun setelah Rasulullah Saw meninggal. Sehingga sangatlah wajar kalau ada perbedaan pendapat dalam memahami teks-teks hadis.
Pelajaran penting yang dapat kita ambil dari kisah di atas adalah, janganlah menyalahkan pihak yang berbeda pendapat dengan kita, apalagi kalau didasari perasaan bahwa pihak kita yang paling benar.
Selayaknya, saat melihat ada yang melakukan praktek ibadah yang berbeda dengan kita, justru harus menjadikan penasaran untuk mempelajarinya. Karena boleh jadi justru pengetahuan kita yang kurang.
Ada satu quote yang bagus untuk dilaksanakan dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam masalah ibadah ini, yaitu 'Ilmui apa yang kita lakukan, dan ilmui apa yang orang lain lakukan'. Maksudnya, terhadap ibadah yang kita lakukan kita harus mempelajarinya (mengilmuinya). Begitupun terhadap ibadah yang dilakukan orang lain, kita pun harus mempelajarinya, karena siapa tahu kita belum pernah mempelajarinya.
Wallahu'alam.
Sumber:
- Muhammad Ash-Shalabi, Ali. Ketika Rasulullah Harus Berperang, penerbit Al-Kautsar, Jakarta.
Catatan kaki:
[1] Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah: 6/57
[2] Risalah Da'watuna, Majmu'ah Rasail, Hasan Al-Banna, hal. 23 -- 24
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H