Juga di surat ar-Rum ayat ke-22,
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui."
Dua ayat di atas hendaknya menjadi landasan untuk memahami bahwa perbedaan itu sebuah realita yang harus diterima, tanpa harus saling menonjolkan perbedaan masing-masing. Apalagi mengklaim sebagai yang lebih baik dibandingkan yang lain. Termasuk dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam masalah peribadahan.
Dalam hal beribadah, ulama telah membagi perbedaan tersebut ke dalam dua hukum. Perbedaan yang dilarang (tidak boleh) dan perbedaan yang dibolehkan.
Perbedaan yang boleh adalah perbedaan dalam perkara furu'. Yang dimaksud dengan perkara furu' adalah hal-hal yang zhanni atau mengandung dugaan, multi interpretatif, dan memang diperselisihkan oleh para ulama.[1]
Sedangkan perbedaan yang tidak boleh adalah perbedaan dalam perkara ushul. Yang dimaksud dengan perkara ushul adalah hal-hal yang qath'i, jelas, dan telah disepakati oleh para ulama.
Dan yang harus dijadikan acuan dalam menentukan sesuatu masuk perkara ushul dan furu' adalah Ilmu Ushul Fiqih dan kaidah bahasa Arab.
Sebab-sebab Perbedaan dalam Perkara Furu'
Terjadinya perbedaan dalam perkara furu' sangat mungkin terjadi karena faktor-faktor berikut, Pertama, perbedaan kemampuan akal para ulama dalam menyimpulkan ayat atau hadis yang multi interpretatif. Dua ayat Al-Quran di atas telah menjelaskan bahwa manusia diciptakan dengan kondisi berbeda-beda, termasuk dalam kapasitas akalnya.
Kedua, perbedaan informasi dan ilmu yang dimiliki para ulama. Maka sangat mungkin ada suatu hadis atau ilmu tertentu yang sampai kepada beberapa ulama tertentu dan belum atau tidak sampai kepada ulama yang lain. Sehingga Imam Malik berkata kepada Abu Ja'far: "Sesungguhnya para sahabat Rasulullah telah mendatangi berbagai kota, dan setiap kaum itu memiliki ilmu tertentu. Maka jika seseorang ingin menggiring mereka kepada satu pendapat, niscaya upaya ituhanya akan menimbulkan kekacauan."
Ketiga, perbedaan lingkungan, situasi dan kondisi. Itulah sebabnya Imam Syafi'i memberikan fatwa lama (qaul qadim) di Irak, kemudian memunculkan fatwa baru (qaul jadid) ketika beliau berada di Mesir.