Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

KUHP Baru Mempersempit sekaligus Memberi Ruang Pelaku Zina

12 Desember 2022   06:59 Diperbarui: 12 Desember 2022   07:12 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan DPR Selasa 6 Desember lalu, dan akan mulai diberlakukan di tahun 2025, menuai banyak perdebatan di tengah masyarakat. Indikasinya, banyak tokoh dan masyarakat umum yang mempertanyakan isi dari KUHP yang baru ini.

Penulis tidak akan mengomentari semua pasal yang jadi isi KUHP tersebut. Namun, hanya akan menulis - katakan saja mengritisi - salah satu masalah, yaitu tentang perzinaan, yang terdapat di Pasal 411 dan 412.

Penulis sangat setuju dengan definisi zina yang sekarang tercantum di KUHP baru ini. Di Pasal 411 ayat (1) disebutkan bahwa,

"Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II".

Berarti, para penjaja seks dan pelanggannya saat melakukan 'transaksi' dapat dipidanakan. Karena jelas mereka bukan suami istri.

Begitupun dengan Pasal 412 ayat (1) yang menganggap semua jenis perbuatan hidup serumah tanpa ikatan pernikahan adalah sebuah kejahatan.

Pasal 412 ayat (1) berbunyi sebagai berikut,

"Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II".

Tentu saja penulis sangat respek dengan Pasal 411 ayat (1) dan Pasal 412 ayat (1) di atas. Sangat setuju dengan isi kedua pasal tersebut. Karena -- menurut pemahaman penulis -- kedua pasal di atas akan mempersempit ruang gerak siapa pun yang ingin melakukan hubungan seks dan/atau hidup bersama tanpa melalui proses pernikahan. Semangat dari kedua pasal ini -- sekali lagi menurut pemahaman penulis -- adalah menghilangkan atau setidaknya mengurangi perbuatan zina, yang oleh syariat Islam pun dianggap sebagai dosa besar.

 

Namun, saat membaca membaca isi ayat (2) dari Pasal 411 dan Pasal 412, penulis malah menangkap arti lain, yang justru berlawanan dengan semangat yang ada di ayat (1) dari kedua pasal tersebut.

Pasal 411 ayat (2) dan Pasal 412 ayat (2), kebetulan redaksinya persis, berbunyi sebagai berikut,

"Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:

 

a. Suami atau istri bagi yang terikat perkawinan.

b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan."

Dari isi ayat (2) kedua pasal di atas, dapat dipahami bahwa ayat (1) dari Pasal 411 dan Pasal 412 adalah delik aduan.

Menurut salah seorang anggota Komisi III DPRRI, Habiburokhman, "Kedua pasal tersebut, larangan zina dan kumpul kebo, itu adalah delik aduan. Delik aduan adalah delik yang hanya bisa berlaku, dilaksanakan, kalau ada yang melapor, dan yang melapor bukan sembarang orang".

Menurut penafsiran penulis (pendapat pribadi penulis) terhadap ayat (2) dari Pasal 411 dan Pasal 412, justru ini yang akan menjadi peluang semakin mudahnya orang melakukan zina dan/atau hidup bersama tanpa ikatan pernikahan.

Jadi, alih-alih akan mempersempit siapa pun untuk melakukan zina dan/atau kumpul kebo, sebagaimana semangat yang ada di pasal (1), pasal (2) ini justru akan memperluas ruang gerak mereka yang ingin melakukan zina dan/atau kumpul kebo.

Kenapa saya mengambil kesimpulan seperti itu?

Pertama, siapa pun, kecuali yang disebutkan di ayat (2), tidak boleh melakukan penuntutan, penggerebekan, atau bahkan penangkapan. Termasuk Satpol PP. Padahal, selama ini aksi razia perbuatan mesum ke hotel-hotel oleh Satpol PP sangat efektif untuk mencegah terjadinya perbuatan zina.

Jadi sekarang, tanpa pengaduan dari pihak yang disebutkan di ayat (2), suami/istri, atau orang tua, atau anak, dari pelaku zina atau kumbul kebo, Satpol PP tidak bisa seenaknya menangkap pelaku zina dan kumpul kebo.

Kelak, saat Satpol hendak merazia hotel-hotel yang disinyalir sering digunakan untuk praktik perzinaan, akan berhadapan dengan manajemen hotel. Manajemen hotel akan menggunakan argumen dengan menggunakan ayat (2) dari Pasal 411 dan 412. Kalau Satpol PP tidak disertai suami/istri atau orangtua/anak dari penyewa hotel yang akan dirazia, maka manajemen hotel berhak menolak Satpol PP.

Kedua, kasus hidup bersama tanpa ikatan pernikahan atau kumpul kebo, biasanya dilakukan oleh salah satu dari pasangan yang sedang melakukan hubungan jarak jauh atau LDR (Long Distance Relation), karena pasangan itu tinggal di kota yang berbeda (berjauhan).

Karena LDR, mereka bertemu dengan pasangannya hanya di waktu-waktu tertentu, tergantung jarak tempat tinggal kedua pasangan tersebut. Semakin jauh mereka berjauhan, maka semakin jarang pula mereka bertemu. Untuk mereka yang kurang beriman, atau tidak setia pada pasangannya, mereka akan mencari pasangan lain (kumpul kebo) untuk menyalurkan hasrat seksualnya.

Masyarakat yang mengetahui di lingkungannya ada yang melakukan kumpul kebo, tentu tidak bisa mengadukan ke polisi, karena yang boleh hanya suami atau istrinya dari orang yang melakukan kumpul kebo tersebut. Padahal istri atau suaminya berada jauh di luar kota. Akan sangat sulit bagi masyarakat untuk menindak pelaku kumpul kebo yang ada di lingkungannya.

Ketiga, kasus yang sering terjadi di masyarakat adalah perzinaan yang dilakukan oleh oknum mahasiswa atau mahasiswi di tempat kost mereka. Mereka tinggal di kost-an karena jauh dari orang tuanya.

Masyarakat yang mengetahui di lingkungannya  ada mahasiswa/i yang melakukan perzinaan, tentu tidak bisa mengadukan ke polisi, karena yang bisa hanya orang tuanya, yang tinggal jauh di luar kota.

Keterbatasan-keterbatasan masyarakat yang tidak bisa mengadukan mereka yang melakukan perzinaan dan/atau kumpul kebo, bisa saja dimanfaatkan oleh pelaku perzinaan dan/atau kumpul kebo tersebut.

Mereka akan merasa aman dengan adanya pembatasan -- yang bisa mengadukan perbuatan mereka -- sebagaimana yang disebutkan dalam ayat (2) dari Pasal 411 dan Pasal 412.

Mereka akan merasa aman, merasa tidak akan ada yang mengadukan mereka, karena pasangan atau orang tua mereka (yang berhak mengadukan) berada jauh dan tidak mungkin mengetahui perbuatan mereka.

Mohon maaf, apa yang penulis di atas, itu benar-benar menurut pemahaman atau penafsiran penulis terhadap Pasal 411 dan 412 KUHP yang baru disahkan. Penulis tidak tahu benar tidaknya penafsiran tersebut. Semoga saja penafsiran penulis itu salah, sehingga kekhawatiran penulis bahwa Pasal 411 dan 412 akan memberi ruang gerak yang lebih luas pada pelaku zina dan/atau kumpul kebo tidak terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun