September 1948
Malam semakin bergulir menuju puncaknya, dingin semakin menusuk kulit, suara burung hantu semakin kerap terdengar, tetapi tiga orang yang sedang berunding belum terlihat akan mengakhiri pembicaraan mereka, yang dimulai sejak bada isya.
Â
Memang bukan perkara sepele yang mereka rembugkan. Yang dibicarakan berhubungan dengan nyawa manusia. Bukan nyawa seorang manusia, melainkan nyawa puluhan manusia. Bahkan juga nasib pondok pesantren yang mereka pimpin.
Beberapa pekan sebelum malam itu, PKI memproklamirkan berdirinya Republik Soviet dan menetapkan Dungus Madiun sebagai ibukota, sementara Muso sang pemimpin menunjuk dirinya sendiri sebagai Perdana Menteri.
Tentu saja PKI menginginkan wilayah Keresidenan Madiun yang meliputi Magetan, Ponorogo, Pacitan, dan Ngawi berada dalam kekuasaannya dan tunduk kepada mereka. Untuk itu, siapa pun yang melawan akan mereka habisi.
Semua kejadian tersebut tak luput dari perhatian ketiga pimpinan pondok yang sedang berdiskusi malam itu. Mereka adalah tiga bersaudara, dua orang pimpinan Pondok Pesantren; KH. Ahmad Sahal, dan KH. Imam Zarkasyi, yang ketiga KH. Rahmat Soekarto yang menjadi Lurah Desa Gontor.
Sementara saya dan seorang santri yang bertugas melayani keperluan ketiganya, seperti menyediakan minum dan makan, menunggu di teras rumah. Saya berusaha menahan kantuk dan dinginnya malam dengan berusaha mendengarkan pembicaraan pimpinan pondok itu di balik pintu.
Ketiga pimpinan pondok sedang membahas hal yang paling krusial. Siapa yang harus menemani para santri mengungsi dan siapa yang harus tinggal di pondok. Tinggal di pondok tentu saja akan berhadapan dengan PKI, yang sudah bisa dibayangkan, taruhannya adalah nyawa.
"Wis, Pak Sahal. Panjenengan wae sing budhal, ngungsi karo santri. PKI kuwi sing dingerteni, kiai Gontor yo panjenengan. Aku jogo Pondok wae, ora-ora lek dikenali aku iki* ...." Terdengar Kiai Zarkasyi berbicara.
Belum selesai Kiai Zarkasyi bicara, Kiai Sahal memotong, "Ora! Dudu aku sing kudu ngungsi ... tapi kowe, Zar. Kowe isih enom, ilmumu luwih akeh, bakale Pondok iki mbutuhne kowe timbangane aku. Aku wis tuwo, wis tak ladeni PKI kuwi. Ayo, Pak Zar, njajal awak mendahno lek mati**."Â