Begitupun kalau mengacu kepada regulasi yang ada yang mengatur pengelolaan dana umat, 12,5% adalah alokasi yang dibenarkan.
Menurut fatwa MUI Nomor 8 Tahun 2020 tentang Amil Zakat dan Keputusan Menteri Agama Nomor 606 Tahun 2020 tentang Pedoman Audit Syariah, 'alokasi dana untuk operasional organisasi pengelola zakat tidak melebihi seperdelapan atau 12,5 persen dari dana zakat yang terhimpun dan 20 persen dari jumlah dana infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya yang tergalang dalam satu tahun'.
Jadi, secara syariat (hak amil di QS. At-taubah:60) dan secara normatif (Fatwa MUI dan SK Menag), alokasi gaji untuk jajaran manajemen ACT itu sah dan dibenarkan.
Namun, ada yang dilupakan oleh ACT, ini pendapat pribadi dan menjadi pelajaran bagi saya, bahwa ada etika yang harus dipegang dalam mengelola dana umat.
Sekalipun ada hak amil (pengelola dana umat), janganlah sampai digunakan secara ugal-ugalan dengan memberikan fasilitas mewah dan gaji bernilai fantastis.
Sikap mengelola dana secara profesional juga harus dibarengi dengan akhlak yang harus ada pada pengurus. Alasan profesional saja tidak cukup, tetapi harus profesional Islami, maksudnya adalah sikap profesional yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Nilai-nilai Islam ini harus ada bukan hanya pada setiap individu pengurus namun juga harus menjadi budaya kerja pada lembaga tersebut. Sehingga akan terbangun satu corporate culture yang baik.
Jadi, kalau melihat paparan di atas khususnya tentang gaji manajemennya, menurut saya, 'kesalahan' manajemen ACT hanya karena masalah etika saja. Tidak etis rasanya dalam kondisi ekonomi masyarakat terpuruk, tetapi memberi gaji besar untuk jajaran pengurusnya.
Oleh karena itu, tidak usahlah sampai meminta ACT untuk dibubarkan atau dihentikan aktivitasnya. Pembenahan manajemen yang dilakukan di awal tahun 2022 merupakan bukti bahwa ACT akan memperbaiki dan menyelesaikan semua persoalan yang ada.
Bagaimanapun, ACT adalah asset umat. Saat ini ACT memiliki sekitar 86 ribu relawan yang tersebar di seluruh Indonesia dan beberapa negara lain. Jumlah realnya mungkin lebih dari itu, karena banyak relawan yang tidak terdata.
Kita tak bisa menutup mata dan melupakan aksi sosial yang sudah dilakukan ACT selama ini, baik di dalam maupun di luar negeri. Seperti saat terjadi gempa di Palu, ACT menurunkan 412 relawan untuk menembus tiga daerah yang terkena musibah. Tim ACT bergerak membuat dapur umum yang menyediakan 1.000 porsi makanan dalam satu hari serta membagikan puluhan ribu ton bahan makanan pokok.
Demikian pelajaran yang saya dapat dari kegaduhan yang terjadi di ACT, bahwa hal etis atau etika harus juga diperhatikan, walaupun secara hukum normatif dan syariat apa yang kita lakukan sudah benar.