Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kegaduhan ACT Hanya karena Masalah Etika

14 Juli 2022   16:07 Diperbarui: 14 Juli 2022   16:10 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi aksi ACT/sumber: kompascom

Bukan ingin memperpanjang berita tentang kemelut yang terjadi di Lembaga filantropi Aksi Cepat Tepat (ACT). Namun, karena saya pribadi, telah mendapatkan satu pelajaran dari kasus tersebut.

Berawal dari reportase yang dilakukan majalah Tempo dan kemudian dipublish di edisi 2 Juli kemarin. Publik pun merasa tercengang dengan semua yang dipaparkan Tempo tersebut. Termasuk saya, yang kebetulan mendapatkan versi PDF-nya dari seorang teman.

Sudah jamak di era medsos, kabar apa pun yang sensitif, walaupun kecil, tidak membutuhkan waktu lama untuk menjadi viral. Apalagi ini menyangkut pengelolaan dana masyarakat yang sangat besar. Dan sudah jamak pula, hal apa pun selalu ada yang suka dan tidak suka. Bagi yang tidak suka peluang sekecil apa pun untuk men-downgrade akan dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Maka, dua faktor itulah yang membuat berita duka yang dialami ACT menjadi viral, bahkan menjadi trending topic di jagad maya. Dan kemudian dihubung-hubungkan dengan organisasi atau partai politik. Imej lembaga Islam yang menempel pada ACT menjadi poin sendiri bagi mereka yang Islamophobia, untuk menjelek-jelekkan Islam. bahkan ada pula yang menghubung-hubungkan dengan aksi terorisme.

Entah mengapa, sekarang ini semakin banyak saja orang yang mengidap Islamophobia dan senang mengaitkan sesuatu yang berbau Islam dengan terorisme atau radikal-radikul.

Sebagaimana yang saya baca di Tempo, kegaduhan yang terjadi di ACT ini diawali saat dilengserkannya AHYDN di awal tahun 2022. AHYDN yang telah 17 tahun menjadi orang pertama di ACT, dianggap-oleh jajaran manajemen ACT-terlalu one man show dalam mengelola ACT.

Publik pun kemudian menyorot sosok AHYDN. Sehingga dari rangkaian laporan yang dipaparkan majalah Tempo, versi pdf-nya ada 43 halaman, masyarakat lebih menyorot apa yang selama ini telah di'peroleh' oleh AHYDN dan jajaran manajemen ACT. Padahal-juga di majalah Tempo itu-ada klarifikasi dari AHYDN sendiri dan dari persiden ACT yang baru.

Dari majalah Tempo tersebut publik pun jadi mengetahui-dan ini yang membuat gaduh-gaji jajaran manajemen ACT. Majalah Tempo edisi 2 Juli itu memaparkan gaji mereka perbulan, sebagai berikut:

Ketua Dewan Pembina (1 orang): Rp. 250 juta + mobil Alphard, Pajero, dan CR-V

Senior Vice President (3 orang): @Rp. 150 juta + mobil Pajero

Vice President (10 orang): @Rp. 80 juta + mobil Pajero

Direktur Eksekutif (14 orang): @Rp. 50 juta + mobil Innova

Direktur (16 orang): @Rp. 30 juta + mobil Innova

Walaupun dibantah, baik oleh AHYDN maupun pimpinan ACT yang baru, bahwa nilainya tidak seperti itu, tetapi siapa yang tidak percaya pada Tempo?

Besarnya gaji jajaran manajemen ACT di atas yang menjadi sorotan publik. Pihak yang tidak suka ACT, maupun yang mendukung ACT, saya perhatikan di medsos, saling beradu argumen di isu ini (gaji pengurus ACT).

Bagi pihak yang tidak suka pada ACT, sangat tidak layak kalau ACT, sebagai lembaga filantropi, memberi fasilitas yang super mewah kepada pengelolanya. Menurut mereka, gaji yang diterima manajemen ACT terlalu besar. Mereka pun kemudian membandingkan dengan Lembaga-lembaga serupa, yang sama-sama mengelola dana umat.

Mereka membandingkan dengan Dompet Dhuafa yang memberi gaji tertinggi Rp. 40 juta, dan dengan Rumah Zakat yang hanya Rp. 25 juta atau hanya 10% dari gaji Ketua Dewan Pemina ACT.

Namun, argumen-argumen di atas dibalas oleh pihak yang 'pro' ACT. Menurut mereka yang mendukung ACT, wajar kalau ACT memberi gaji sebesar itu karena dana yang dikelola pun besar. Menurut majalah Tempo yang saya baca itu, dana yang dikelola ACT setiap tahun memang sangat besar, rata-rata 540 Milliar pertahun. Jadi wajar menurut mereka. Kewajaran tersebut juga disampaikan Presiden ACT, Ibnu Khazar.

Saat diwawancara majalah Tempo, Ibnu Khazar mengatakan, "Yang terpenting bukan rupiahnya berapa, tapi masuk konteks kewajaran pengelolaan keuangan atau tidak. Orang sering melihat, bisa jadi yang didapatkan lebih dari lembaga lain. Persoalannya, mereka tidak melihat cara kerjanya seperti apa. Sejak pandemi Covid-19 merebak, kami putuskan Sabtu-Ahad tidak libur. Beberapa orang bahkan tidak pulang ke rumah karena mengelola pandemi. Jadi itu semacam dana lembur. Kami kerja lebih dari yang lain."

Manajemen ACT pun beralasan semua gaji itu sudah sesuai syariat dengan menghitung jatah amil (satu dari delapan penerima zakat) yaitu 1/8 atau 12,5%. Kedelapan kategori penerima zakat disebutkan dalam al-Quran surat at-Taubah ayat 60.

"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah".

Begitupun kalau mengacu kepada regulasi yang ada yang mengatur pengelolaan dana umat, 12,5% adalah alokasi yang dibenarkan.

Menurut fatwa MUI Nomor 8 Tahun 2020 tentang Amil Zakat dan Keputusan Menteri Agama Nomor 606 Tahun 2020 tentang Pedoman Audit Syariah, 'alokasi dana untuk operasional organisasi pengelola zakat tidak melebihi seperdelapan atau 12,5 persen dari dana zakat yang terhimpun dan 20 persen dari jumlah dana infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya yang tergalang dalam satu tahun'.

Jadi, secara syariat (hak amil di QS. At-taubah:60) dan secara normatif (Fatwa MUI dan SK Menag), alokasi gaji untuk jajaran manajemen ACT itu sah dan dibenarkan.

Namun, ada yang dilupakan oleh ACT, ini pendapat pribadi dan menjadi pelajaran bagi saya, bahwa ada etika yang harus dipegang dalam mengelola dana umat.

Sekalipun ada hak amil (pengelola dana umat), janganlah sampai digunakan secara ugal-ugalan dengan memberikan fasilitas mewah dan gaji bernilai fantastis.

Sikap mengelola dana secara profesional juga harus dibarengi dengan akhlak yang harus ada pada pengurus. Alasan profesional saja tidak cukup, tetapi harus profesional Islami, maksudnya adalah sikap profesional yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Nilai-nilai Islam ini harus ada bukan hanya pada setiap individu pengurus namun juga harus menjadi budaya kerja pada lembaga tersebut. Sehingga akan terbangun satu corporate culture yang baik.

Jadi, kalau melihat paparan di atas khususnya tentang gaji manajemennya, menurut saya, 'kesalahan' manajemen ACT hanya karena masalah etika saja. Tidak etis rasanya dalam kondisi ekonomi masyarakat terpuruk, tetapi memberi gaji besar untuk jajaran pengurusnya.

Oleh karena itu, tidak usahlah sampai meminta ACT untuk dibubarkan atau dihentikan aktivitasnya. Pembenahan manajemen yang dilakukan di awal tahun 2022 merupakan bukti bahwa ACT akan memperbaiki dan menyelesaikan semua persoalan yang ada.

Bagaimanapun, ACT adalah asset umat. Saat ini ACT memiliki sekitar 86 ribu relawan yang tersebar di seluruh Indonesia dan beberapa negara lain. Jumlah realnya mungkin lebih dari itu, karena banyak relawan yang tidak terdata.

Kita tak bisa menutup mata dan melupakan aksi sosial yang sudah dilakukan ACT selama ini, baik di dalam maupun di luar negeri. Seperti saat terjadi gempa di Palu, ACT menurunkan 412 relawan untuk menembus tiga daerah yang terkena musibah. Tim ACT bergerak membuat dapur umum yang menyediakan 1.000 porsi makanan dalam satu hari serta membagikan puluhan ribu ton bahan makanan pokok.

Demikian pelajaran yang saya dapat dari kegaduhan yang terjadi di ACT, bahwa hal etis atau etika harus juga diperhatikan, walaupun secara hukum normatif dan syariat apa yang kita lakukan sudah benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun