Daniel menyeruak kerumunan dan meminta orang-orang yang berkerumun membubarkan diri. Melihat tanda anggota polisi yang diacungkan Daniel, mereka pun menurut. Dua orang anak buah Daniel kemudian memasang Police Line mengelilingi mayat telanjang yang tergeletak di bawah tempat sampah.
"Bagaimana?" Daniel bertanya kepada rekannya yang berjongkok di dekat mayat.
"Positif!"
Daniel menggaruk pelipis kanannya mendengar jawaban rekannya itu. Positif berarti mayat itu, kondisinya, sesuai dengan prediksi mereka.
"Usia?" tanya Daniel.
"Antara 30 - 40!"
Mayat itu adalah mayat keenam dalam dua pekan terakhir. Daniel Craigh, kepala kepolisian Distrik Coventry, dipusingkan dengan pembunuhan berantai yang terjadi di distriknya.
Sebelum terjadi pembunuhan keenam malam ini, Daniel dan rekan-rekannya baru bisa menemukan benang merah lima pembunuhan sebelumnya dari sisi kondisi korban. Namun, mereka belum bisa memprediksi siapa yang melakukan dan apa motivnya.
Kelima mayat, dan juga mayat terakhir ternyata mirip, mempunyai ciri yang sama walaupun usianya bervariasi. Lima korban sebelumnya, tiga berusia di bawah usia 20 tahun, seorang di antaranya masih anak-anak. Satu korban berusia lanjut, dan satu korban lagi, berusia antara 30 -- 40 tahun.
Korban memiliki ciri; dibunuh dengan cara disuntik mati, terlihat dari bekas suntikan di bawah telinga kiri dan tidak ada tanda-tanda bekas kekerasan pada tubuh. Korban dibuang setelah 2-3 jam dibunuh dalam keadaan telanjang. Korban semuanya gelandangan atau anak jalanan. Hal ini diketahui karena korban tanpa identitas dan tidak ada laporan kehilangan dari masyarakat.
Dan yang menambah kebingungan Daniel Craigh dan rekan-rekannya kepolisian Distrik Coventry, semua mayat memiliki nomor yang ditato di lengan atas sebelah kanan. Nomor yang berurut; DP01, DP02 sampai DP06 pada mayat terakhir.
"Bagaimana pendapatmu?" rekannya balik bertanya.
"Entahlah, suram." Daniel menggerakkan bahu.
***
Empat jam sebelumnya di sebuah bangunan tua, di pinggir Utara Distrik Coventry.
"Masih penasaran, Prof?" Seorang lelaki berpakaian seragam laboratorium bertanya.
Dia bertanya sambil sibuk membereskan peralatan yang sepertinya baru digunakan; tabung kaca berdiameter 60 senti dan panjang 2 meter, empat buah kamera high-speed yang ditempatkan mengelilingi tabung, dan seperangkat Personal Computer, yang tersambung ke keempat kamera.
"Sepertinya kita takakan berhasil, kita takbisa membuktikannya." Lelaki berusia 50an, yang dipanggil Prof, menghela nafas. Kekecewaan tergambar di wajahnya.
"Tapi kalau penasaran, aku masih penasaran, Richard," ujar Si Prof lagi seraya berdiri dari duduknya. Di meja yang tadi dihadapinya bertumpuk map-map biru bertuliskan 'Object DP06'. "Tapi kita harus mengubah metode dan objeknya. Tapi sekarang aku lelah. Kita off dulu 3-4 bulan."
"Setuju, Prof. Lagian, saya dengar-dengar polisi sudah memiliki kecurigaan."
"Oh ya, objek nomor DP06 sudah kauamankan?" mendengar polisi disebut-sebut rekannya, si Prof teringatkan pada objek penelitiannya.
"Sudah! Dijamin aman, anak buah Mr. Falcone bisa diandalkan, mereka semua profesional."
***
Sebulan sebelumnya.
Di keheningan malam, seorang lelaki berusia 50an sedang sibuk membuka beberapa buku yang memenuhi meja, dan membuat catatan di buku tersendiri. Sekali-kali dia membaca sebuah buku yang terbuka di halaman tertentu dan diletakkan di sebelah tangan kirinya. Bukan buku, melainkan sebuah kitab, kitab yang selalu dibaca orang-orang Islam.
Sebuah obsesi telah membuatnya mau menyibukkan diri menelaah kitab suci milik agama lain. Komentar seorang koleganya di universitas, sebulan yang lalu, selalu terngiang di dalam kepalanya.
"Kalau kau ingin mendapatkan penghargaan setara Nobel, kau mesti memecahkan sebuah misteri yang sampai sekarang belum ada yang mampu."
Saat dia, saat itu, bertanya misteri apa yang dimaksud. Koleganya mengambil sebuah buku dari dalam tasnya, dan saat diperlihatkan padanya ternyata sebuah al-Quran. Entah darimana dia mendapat kitab sucinya orang Islam itu.
Rekannya itu kemudian membuka sebuah halaman, dan memperlihatkan kepadanya sebuah kalimat.
"Allah memegang nyawa (seseorang) pada saat kematiannya dan nyawa (seseorang) yang belum mati ketika dia tidur, maka Dia tahan nyawa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan nyawa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran) Allah bagi kaum yang berfikir".
Kalimat itu pula, yang di malam itu, dia baca berulang-ulang sekaligus membuka buku-buku referensi yang menjelaskan makna kalimat tersebut. Dia merasa beruntung saat perpustakaan universitas bersedia meminjamkannya tanpa banyak bertanya.
Setelah beberapa jam menelaah maksud dari kalimat tersebut, dia mengambil HP-nya dan menelepon seseorang.
"Richard, bisakah kau ke lab-ku sekarang juga? Aku butuh objek untuk penelitianku yang baru"
Dua puluh menit kemudian Richard Townsen tiba. "Kenapa tidak Prof sebutkan saja di telepon, seperti biasanya, kenapa harus bicara langsung?"
"Aku butuh objek yang hidup."
"Itu bisa diatur, beberapa peternakan memiliki hewan unggul. Mau apa, kelinci, babi, hamster?"
"Manusia!"
"Hah!" Mulut Richard menganga.
"Ya, aku ingin meneliti kematian manusia. Aku akan memotret nyawa manusia. Kalau berhasil, ini poin besar bagiku." Si Prof timbul gairahnya, mukanya sampai memerah. "Sekalian kau siapkan tim dan peralatan untuk penelitian ini."
"Tapi mencari manusia yang mau jadi relawan bukan perkara mudah, apalagi sampai harus melepaskan nyawa."
"Kau cari orang yang tidak dipedulikan masyarakat. Orang yang tidak punya kerabat, sehingga kehilangannya diacuhkan. Kau iming-imingi dengan bayaran yang takmungkin mereka tolak."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H