Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berzina sampai Mati

19 April 2022   06:49 Diperbarui: 19 April 2022   06:52 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gara-gara laporan bulanan harus diserahkan besok, terpaksa Edo harus kerja lembur. Dia sudah menelepon Rani, istrinya, tadi siang, karena sudah memprediksi bakal overtime untuk menyelesaikan laporan bulanan.

Edo baru masuk ruang kerjanya setelah istirahat makan malam dan salat Magrib, ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Sejenak dia tertegun karena yang menelepon adiknya, Sinta. Jarang-jarang adiknya menelepon kalau bukan ada urusan penting.

Begitu diterima, Sinta langsung berteriak, "Bang, cepat pulang, rumah kebakaran!"

"Kebakaran? Rumah siapa yang kebakaran?" teriak Edo kaget.

Adiknya memang tinggal satu perumahan dengannya. Rumah Edo dan rumah adiknya hanya terpisah 4 rumah.

"Rumah abang!" jawab Sinta di sela-sela tangisannya.

"Rani ... kakakmu, bagaimana?" Edo mengkhawatirkan istrinya.

Tidak ada jawaban. Sinta sudah menutup teleponnya. Edo melihat arloji di tangan kanannya, pukul 19.40.

"Rumah siapa yang kebakaran, Do?" tanya Pak Andi, Supervisor Edo.

Rupanya teriakan Edo saat menerima telepon dari Sinta terdengar seisi ruangan. Pak Andi menghampiri Edo yang masih di depan pintu. Begitupun dengan Dodi dan Ujang yang malam itu sama-sama kerja lembur.

"Rumah saya, Pak!" jawab Edo pelan.

"Kalau begitu kamu pulang saja, biar kerjaan diselesaikan si Ujang," perintah Pak Andi, Ujang hanya mengangguk.

"Baik, Pak .... Dod, aku pinjam motormu, ya, biar cepat sampai. Kamu nanti pulang pake mobilku." Edo menoleh ke arah Dodi.

"Boleh, nih!" Dodi menyerahkan kunci motornya, "Hati-hati, Do. Jangan panik, keep calm."

Edo hanya mengangguk. Setelah mengambil tas dan membereskan meja kerjanya, Edo langsung pulang.

Beruntung malam itu cerah, arus lalu lintas tidak begitu padat. Edo memacu motor dengan kecepatan tinggi. Kekhawatiran pada kondisi Rani, istrinya, membuatnya menyingkirkan rasa takut saat mengebut. Bahkan beberapa kali harus melanggar lampu merah. Beruntung tidak ada polisi.

Pukul 20.30 Edo sampai di perumahan. Satpam yang menjaga di gerbang sempat menghentikannya karena merasa asing dengan motor yang dipakai Edo.

"Saya Edo, pak!" Edo membuka helmnya setelah berhenti di depan pos satpam.

"Ooh ... Pak Edo, saya kira siapa. Silahkan ... silahkan ..., Pak."

"Jam berapa kejadiannya?" tanya Edo penasaran.

  "Persisnya kita tidak tahu, Pak. Tapi pas lagi salat Isya, itu api langsung besar. Warga tidak sempat memadamkan api, karena sedang salat di masjid. Warga baru tahu ada kebakaran waktu anak-anak teriak ada kebakaran." Satpam menjelaskan.

"Baik, terimakasih." Edo segera melarikan motornya ke arah rumahnya.

Rumah Edo berada di pojok, di blok belakang, dan cukup jauh dari masjid. Sehingga wajar kalau warga tidak sempat memadamkan api yang melahap rumahnya. Rani, istrinya, yang sedang sendirian tentu takkan mampu memadamkan api sendirian.

Atau, jangan-jangan Rani malah menjadi korban. Edo menggeleng-gelengkan kepalanya, menghilangkan bayangan buruk tentang kondisi istrinya.

Di depan gang yang mengarah ke rumahnya, Edo sudah melihat kerumunan orang. Karena penuh orang, motor tidak bisa lewat, Edo memarkirkan motornya di depan gang, dan segera berjalan, setengah berlari, menuju rumahnya.

Melihat Edo datang, Sinta langsung berlari menyambut dan memeluknya.

"Kak Rani ..., Bang. Kak Rani ...." Di tengah-tengah isakannya, Sinta menyebut-nyebut nama kakak iparnya. Tentu saja itu menambah kekhawatiran Edo, dan berbagai perasaan pun memenuhi hatinya.

"Ada apa dengan kakakmu?"

Sinta bukannya menjawab, malah tangisannya yang semakin kencang. Tidak mendapat jawaban, Edo melepaskan Sinta dan setengah berlari mendekati rumahnya.

Edo tertegun melihat kondisi rumahnya. Rumah yang selama ini ditempatinya tinggal puing-puing dan masih mengepulkan asap, di beberapa titik masih terlihat bara berwarna merah, menyisakan tembok-tembok rumah yang masih berdiri.

Seseorang mendekati Edo, "Maaf, Nak Edo. Warga tidak bisa memadamkan api. Kami sedang salat saat terdengar teriakan ada kebakaran. Begitu selesai salat, kami segera berlari. Tapi api sudah menyala besar dan membakar semua bagian rumah."

Edo tertunduk lesu mendengarnya, "Istri ... istri saya bagaimana, Pak RT?"

"Maaf, Nak Edo. Waktu kami tiba, kami tidak mendengar ada yang minta tolong. Kami mengira rumah sedang kosong. Lagian, apinya sangat besar, tidak ada satu pun warga yang berani mendekat."

"Sekarang pun, kami belum memeriksa ke dalam rumah, karena melihat masih ada api, dan juga menunggu Anda," lanjut Pak RT.

Sekitar seperempat jam Edo menunggu api benar-benar padam. Dia kemudian berjalan ke arah rumah setelah meminjam senter dari seorang warga.

Dengan senter Edo mengedarkan pandangan ke bagian-bagian rumah yang sudah dihuninya 10 tahun. Dia mencari tubuh istrinya. Di dapur, di kamar mandi, tidak ditemukan. Tak terasa airmata mengalir membasahi pipinya.

Dia berjalan ke arah kamar tidur. Edo tertegun, dahinya mengernyit, raut wajahnya yang semula muram disertai bulir air mata, seketika berubah memerah, menunjukkan kemarahan, saat sinar senter menyorot dua tubuh gosong yang sedang berpelukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun