"Baik, terimakasih." Edo segera melarikan motornya ke arah rumahnya.
Rumah Edo berada di pojok, di blok belakang, dan cukup jauh dari masjid. Sehingga wajar kalau warga tidak sempat memadamkan api yang melahap rumahnya. Rani, istrinya, yang sedang sendirian tentu takkan mampu memadamkan api sendirian.
Atau, jangan-jangan Rani malah menjadi korban. Edo menggeleng-gelengkan kepalanya, menghilangkan bayangan buruk tentang kondisi istrinya.
Di depan gang yang mengarah ke rumahnya, Edo sudah melihat kerumunan orang. Karena penuh orang, motor tidak bisa lewat, Edo memarkirkan motornya di depan gang, dan segera berjalan, setengah berlari, menuju rumahnya.
Melihat Edo datang, Sinta langsung berlari menyambut dan memeluknya.
"Kak Rani ..., Bang. Kak Rani ...." Di tengah-tengah isakannya, Sinta menyebut-nyebut nama kakak iparnya. Tentu saja itu menambah kekhawatiran Edo, dan berbagai perasaan pun memenuhi hatinya.
"Ada apa dengan kakakmu?"
Sinta bukannya menjawab, malah tangisannya yang semakin kencang. Tidak mendapat jawaban, Edo melepaskan Sinta dan setengah berlari mendekati rumahnya.
Edo tertegun melihat kondisi rumahnya. Rumah yang selama ini ditempatinya tinggal puing-puing dan masih mengepulkan asap, di beberapa titik masih terlihat bara berwarna merah, menyisakan tembok-tembok rumah yang masih berdiri.
Seseorang mendekati Edo, "Maaf, Nak Edo. Warga tidak bisa memadamkan api. Kami sedang salat saat terdengar teriakan ada kebakaran. Begitu selesai salat, kami segera berlari. Tapi api sudah menyala besar dan membakar semua bagian rumah."
Edo tertunduk lesu mendengarnya, "Istri ... istri saya bagaimana, Pak RT?"