Makkah yang panas semakin gerah. Quraisy heboh, terutama para pemukanya. Telah datang ke tengah mereka Rasulullah (utusan Allah) yang membawa risalah baru. Sulit mereka menyanggah kebenaran risalah yang dibawanya, karena selama ini Rasulullah sudah mereka kenal baik sebagai orang yang paling amanah.
Nafsu yang menyelimuti hati mereka telah menutupinya dari melihat kebenaran. Bagaimanapun mereka tidak mau dianggap sederajat dengan para budak. Mereka tidak mau disetarakan dengan budak-budak yang selama ini bebas diperintah bahkan ditindas.
Namun rupanya Rasulullah semakin banyak pengikutnya. Bahkan bukan hanya kalangan bawah, beberapa orang terhormat Quraisy ada yang menerima ajaran risalah baru itu dan rela menjadi pengikut Rasulullah. Mereka adalah Abu Bakar, Utsman bin Affan, bahkan kemudian orang yang paling disegani di Makkah, Hamzah bin Abdul Mutholib, pun menyatakan diri sebagai pengikutnya.
Hal ini semakin membuat para pemuka Quraisy murka. Naik tensi amarah mereka setiap mendengar pengikut Rasulullah bertambah. Berbagai cara mereka lakukan terhadap Rasulullah, dengan mengejeknya, mengintimidasinya, mengatakannya gila, atau menyebutnya tukang sihir. Namun, semuanya tidak berpengaruh. Rasulullah menerima semua perlakuan buruk itu dengan tenang.
Tidak mempan terhadap Rasulullah, sasaran mereka berikutnya adalah para pengikutnya, terutama dari golongan bawah, para budak. Mereka mendera para pengikut Rasulullah dengan siksaan yang luar biasa sadis.
Bayangkan sadisnya seorang Umayyah bin Khalf yang menyiksa budaknya, Bilal bin Rabah. Di siang terik, saat panas matahari maksimal, Bilal ditelanjanginya lalu dibaringkan di atas pasir yang panas. Tidak cukup itu, kemudian diperintahkannya budak yang lain untuk mengambil batu yang besar dan panas karena terbakar matahari, lalu diletakkan di atas perut Bilal bin Rabbah.
"Tinggalkan ajaran si Muhammad, maka kau akan bebas dari penderitaan ini. Bahkan kau akan kuberi kesenangan yang belum kau rasakan." Umayyah bin Khalf membujuk Bilal.
Hanya satu yang keluar dari mulut Bilal bin Rabah, "Ahad." Dan kata itu terus diulang-ulang, "Ahad ... ahad ... ahad."
Bayangkan pula apa yang dilakukan Abu Jahal saat menyiksa budaknya. Tidak hanya seorang tapi sekeluarga, yaitu Yassir, Sumayyah, istrinya, dan putranya, Ammar bin Yassir. Tak berbeda dengan apa yang dialami Bilal. Ketiganya diikat di bawah terik matahari, lalu dicambuk sehingga kulit-kulit tubuh mereka mengelupas mengalirkan darah. Tetapi ketiganya bertahan dengan keyakinannya, bahkan Yassir dan istrinya, Sumayyah, sampai melepaskan nyawa mereka.
Â
Cara-cara kasar tidak mampu menghentikan dakwah Rasulullah, para pemuka Quraisy mengambil cara lain.
"Kita tidak bisa meneruskan cara-cara penyiksaan untuk menghentikan ajaran si Muhammad." Abu Jahal, orang yang berpengaruh di antara pemuka Quraisy, membuka diskusi.
"Ya, alih-alih menghentikan ajaran baru itu, penyiksaan yang kita lakukan malah membuat orang-orang bersimpati," sahut Abu Lahab.
"Benar, seperti yang terjadi pada Hamzah. Gara-gara kau menyiksa keponakannya, dia menyatakan diri menjadi pembelanya," kata Abu Sofyan seraya mengarahkan pandangannya pada Abu Jahal.
Abu Jahal terdiam, teringat peristiwa beberapa hari yang lalu, saat dia menyiksa Rasulullah. Tiba-tiba datang Hamzah bin Abdul Mutholib, yang tak lain paman dari Rasulullah.
Melihat keponakannya disiksa, Hamzah pun marah lalu spontan mengumumkan bahwa dirinya menjadi pengikut Rasulullah, seraya memukulkan busur yang dibawanya ke muka Abu Jahal hingga berdarah.
"Lalu kita harus bagaimana?" Tak mau tersudutkan, Abu Jahal mengajukan pertanyaan.
"Bagaimana kalau kita beli saja si Muhammad itu?" Umayyah bin Khalf mengajukan usul.
"Maksudmu?" tanya Abu Jahal.
"Maksudku, bagaimana kalau kali ini kita beri dia kekayaan yang banyak dengan syarat dia harus menghentikan menyebarkan ajarannya itu," jelas Umayyah.
"Apa mungkin dia tertarik? Sedangkan dia adalah suami dari seorang saudagar kaya, Khadijah." Abu Sofyan meragukan usul Umayyah bin Khalf.
"Bila perlu semua kekayaan yang kita miliki, kita satukan lalu kita berikan ke dia." jawab Umayyah bin Khalf tegas. "Siapa sih yang tidak tergiur menjadi orang yang paling kaya di Makkah?"
Abu Jahal dan semua koleganya terdiam. Memikirkan pendapat Umayyah bin Khalf. Sebuah usul yang menurut mereka cukup logis untuk dicoba.
"Baik, kira-kira siapa orang yang tepat untuk menyampaikan penawaran ini kepada dia?" tanya Hindun, istri Abu Sufyan.
"Utbah bin Rabi'ah. Dia paling jago melakukan negosiasi. Pilihan-pilihan kalimat yang dia ucapkan akan membuat si Muhammad tertarik pada tawaran kita." Abu Lahab memberi usul.
***
Keesokan harinya Utbah bin Rabi'ah menemui Rasulullah. Kemudian dengan lemah lembut menawarkan beberapa hal.
"Wahai anak saudaraku, sebagaimana engkau ketahui, kita adalah masih satu golongan, baik itu dari hubungan pertemanan atau garis keturunan. Engkau telah membawa satu urusan yang besar yang dengannya kau pecah-belah persatuan kami. Kau hina keyakinan kami, kau cela sembahan kami. Sekarang, dengarlah, aku akan menawarkan kepadamu beberapa hal yang bisa kau pertimbangkan."
"Katakan saja, wahai Abu Walid, akan kudengarkan," jawab Rasulullah.
Utbah pun menyampaikan tawarannya,
"Anak saudaraku, jika yang kau kehendaki dari ajaran yang kau bawa itu adalah harta, kami siap memberimu harta sebanyak yang kau inginkan, sehingga kau menjadi orang yang paling kaya di antara kami."
Rasulullah menolak dengan tegas. Utbah pun kembali menemui para pemuka Quraisy dengan roman muka kecewa.
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H