Beberapa hari berikutnya Nabi Adam kembali memanggil Qabil dan Habil. Kepada keduanya Nabi Adam memerintahkan untuk mempersembahkan kurban kepada Allah Swt.
"Siapa pun yang korbannya diterima Allah Swt, maka dialah yang berhak menikahi Iqlima," ujar Nabi Adam menutup penjelasannya.
Qabil dan Habil pun kemudian mempersiapkan kurban mereka masing-masing. Habil yang seorang peternak segera memilih kambing yang paling besar.
"Allah telah memberi banyak nikmat kepadaku, aku diberi tubuh yang sehat dan kuat, sudah selayaknya aku memberikan yang terbaik untuk Tuhanku," kata Habil sambil mengelus-elus kambingnya yang berwarna putih.
Sementara di tempat lain, di kebunya, Qabil terus menggerutu, memuntahkan semua kekesalan hatinya.
"Masa untuk menentukan siapa menikahi siapa harus memberikan sesembahan? Bukannya sudah ditakdirkan dari awal, sejak lahir, bahwa aku memang jodohnya Iqlima?"
"Ya, betul. Sejak di rahim ibumu kamu memang sudah bersanding dengan adikmu itu. Itu adalah tanda bahwa jodohmu adalah adikmu." Setan kembali membisikan kalimat panas.
"Kenapa ayah malah menjodohkan aku dengan adiknya Habil? Kenapa tidak menjodohkan dengan masing-masing pasangan lahirnya saja?" Qabil terus memuntahkan kepenasarannya.
"Itu karena adikmu, Habil. Dia yang menginginkan Iqlima, karena dia pun tahu, Iqlima lebih cantik daripada adiknya, Labuda. Dia telah mendatangi ayahmu, meminta dinikahkan dengan Iqlima." Setan melontarkan panah fitnah.
Wajah Qabil semakin merah. Kedua tangan mengepal keras. "Sekarang aku harus menyerahkan kurban lagi. apa-apaan ini?"
Dengan hati dongkol dan kepala panas, Qabil, yang seorang petani, memilih buah-buahan seenaknya. Dia tidak berusaha memilih yang terbaik seperti Habil. Bahkan dia memilih buah-buahan yang tidak layak untuk dimakan.