"Iqlima itu lebih putih, hidungnya lebih mancung, sepadan denganmu. Bukankah memang dia ditakdirkan bersamamu sejak dilahirkan?"
Semakin diam Qabil, kalimat-kalimat tersebut semakin meresap ke dalam dada. Mengotori hatinya.
"Kamu itu anak paling besar, kenapa kamu yang harus mengalah. Harusnya si Habil yang menikah dengan adiknya sendiri." Setan terus mengompori Qabil.
Termakan godaan setan, Qabil pun kembali menghadap kedua orang tuanya. Beberapa jenak dia terdiam di hadapan Nabi Adam dan Hawa seolah sedang memilih kata yang tepat untuk diucapkan.
"Begini, ayah dan ibu. Saya akan melaksanakan perintah Allah untuk menikah. Namun, kenapa saya harus menikah dengan Labuda? Padahal yang saya inginkan menikah dengan Iqlima." Qabil akhirnya menyampaikan isi hatinya.
Nabi Adam dan Hawa terkejut mendengarnya. "Kenapa, wahai Qabil, apa yang menyebabkanmu tidak mau menikahi Labuda?" tanya Nabi Adam
Qabil tidak sempat menjawab. Ibunya, Hawa, menyusul dengan pertanyaan menohok. "Apakah karena Iqlima lebih cantik dari Labuda?"
Sebagai seorang perempuan, Hawa lebih sensitif, dia memahami apa yang diinginkan Qabil. Menerima pertanyaan dari ibunya, Qabil seolah mendapat jalan untuk mengungkapkan isi hatinya. Maka, dia pun mendongak dan dengan tegas menjawab.
"Betul, bu."
Untuk beberapa saat Nabi Adam dan Hawa terdiam. Kemudian, "Baiklah. Ayah akan memohon petunjuk kepada Allah Swt."
***