Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: 3 Dosa

1 April 2022   09:31 Diperbarui: 4 April 2022   14:37 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membayangkan rekan-rekannya, pikiran Samin pun melayang jauh. Perjalanan hidupnya, sampai tiba di penambangan ini, tergambar bagai film di benaknya. Samin tersenyum saat mengingat pertama tiba dan menghadap Si Bos untuk diterima bekerja.

Tidak ada prosedur yang rumit, Si Bos hanya bertanya, "Kau tidak takut bekerja di tempat gelap? Kau punya penyakit asma, sesak napas, jantung?"

Gelengan Samin cukup meyakinkannya. Apalagi melihat postur tubuhnya yang tinggi besar dan kekar.

Untuk menemukan emas hanya dibutuhkan keberuntungan dan tenaga yang kuat. Para penambang dalam satu grup berbagi peran. Sebagian bertugas memukul batu dengan belencong hingga sehalus pasir. Sebagian lagi mengumpulkan serpihan batu tersebut dan membawanya ke luar untuk digiling sampai berukuran pasir halus. Lalu merkuri ditumpahkan ke dalam mesin penggiling sebelum disaring.

Butiran emas yang menempel pada merkuri, akan terlihat bercahaya. Pada saat seperti itulah akan terdengar sorakan dari petugas penyaring. Sorakan kebahagiaan saat melihat cahaya dari butiran emas.

"Mas Samin ..., cepat ke sini!" Dadang membuyarkan lamunan Samin. Tomiran dan Tole pun terperanjat. Mereka segera menghampiri Dadang yang duduk di sebelah Kusno.

Samin tertegun. Mata Kusno melotot. Mulutnya terbuka. Seperti ingin berteriak, tetapi yang keluar suara erangan. Tubuhnya beberapa kali kelojotan, seperti tersengat aliran listrik.

Suara erangannya semakin nyaring. Tole sampai menutup kedua telinganya dan memejamkan mata. Rupanya erangan Kusno mengingatkannya pada peristiwa pahit dalam hidupnya.

Lalu tubuh Kusno terkulai lemas dan mendingin. Hidupnya berakhir dengan sangat menyedihkan. Samin mengusapkan tangannya berusaha menutup mata Kusno yang membelalak.

"Mas Tole ..., sudah, Mas." Dadang menggoyang bahu Tole, yang masih menutup kedua kupingnya dan menelungkup di lantai terowongan.

Tole bergeming. Dadang menggoyangnya lebih keras. Tole pun bangkit, wajahnya kotor penuh tanah. Airmatanya yang mengucur membuat tanah terowongan melekat di wajahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun