Katakanlah di sebuah daerah, jumlah kursi DPRD nya ada 45 kursi. Maka untuk maju dalam pilkada, seseorang (serta pasangannya) harus memiliki dukungan 20% dari 45 kursi atau 9 kursi DRPRD.
Akan tidak begitu bermasalah, kalau kebetulan seseorang yang ingin maju itu seorang Ketua atau Pemimpin parpol yang memiliki kursi 9 di DPRD. Maka, dia akan melenggang dengan mudah dalam pencalonan, bahkan dia dapat memilih sendiri siapa yang akan menjadi pasangannya.
Namun, akan bermasalah, dan tentu berbiaya high cost, kalau seseorang yang ingin maju itu bukan Ketua atau Pemimpin parpol. Maka, dia harus membeli 'perahu' sebanyak minimal 9 kursi DPRD, sebagai syarat pencalonan.
Transaksi membeli 'perahu' ini atau sering juga disebut mahar politik adalah money politic yang saya maksudkan. Harga mahar ini akan semakin tinggi, seiring banyaknya yang ingin maju di pilkada.
Lalu, berapa harga satu perahunya?
Itu tergantung. Tergantung posisi parpolnya di DPRD. Tergantung jumlah kursinya di DPRD, dan sebagainya. Yang jelas, tentu harganya bukan kaleng-kaleng.
Nah, biaya (modal) yang bermiliar-miliar itu, biaya gabungan cost politic dan money politic, tentu tidak akan sanggup diganti kalau hanya mengandalkan pendapatan resmi (gaji) sebagai kepala daerah.
Memang berapa gaji walikota atau bupati?
Gaji bupati tahun 2021 sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 Tahun 2000 Perubahan PP Nomor 9 Tahun 1980 sebesar Rp 2,1 juta per bulan, dan untuk wakil bupati adalah Rp 1,8 juta per bulan.
Namun tak hanya gaji pokok. Bupati dan wakil bupati juga mendapatkan uang tunjangan. Sesuai Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2001 tentang Tunjangan Jabatan bagi Pejabat Negara Tertentu, tunjangan bupati sebesar Rp 3,78 juta per bulan, dan wakilnya mendapatkan Rp 3,24 juta per bulan.
Jadi, seorang bupati akan mendapatkan 'penghasilan' dari gaji dan tunjangan sebesar Rp. 5,88 juta per bulan (sesuai 2 PP di atas). Dan penghasilan sebesar ini tentu saja masih jauuuh kalau untuk menutupi modal yang sudah dikeluarkan.