Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan yang ingin terus menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berusaha menuliskan apa saja yang bermanfaat, untuk sendiri, semoga juga untuk yang lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suara Terbanyak

4 Agustus 2020   13:27 Diperbarui: 4 Agustus 2020   13:27 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pokoknya, kita harus berusaha agar hasil akhir pemilihan nanti, pilihan tidak setuju harus lebih banyak." Pak Entang mengarahkan timnya.

"Tenang Pak! Separuh lebih warga saya sudah menyatkan tidak setuju," ujar Pak Edi, Ketua RW 07.

"Bagus tuh, RW yang lain harus dikondisikan juga," kata Pak Entang.

"Ya, kita, para ketua RW harus mau keliling ke rumah-rumah warga. Bilang saja, kalau nanti keputusan diperbaiki yang menang, biaya perbaikannya akan dibebankan ke warga dengan iuran. Mereka pasti menolak kalau diduruh iuran," saran Pak Edi.

Para ketua RW dan beberapa orang yang hadir menganggukkan kepala.

Andi hanya mengurut dada, tak habis pikir. Mengapa urusan memperbaiki jembatan harus diserahkan ke warga yang notabene tidak tahu apa-apa tentang konstruksi. Kalaupun ada, hanya beberapa orang saja. Bukan merasa paling bisa, tapi kenapa harus melakukan pemungutan suara? Apakah atas nama demokrasi semua hal 'hanya' bisa diselesaikan dengan pemungutan suara? Padahal, menurutnya, cukup dipanggil beberapa warga yang paham tentang konstruksi lalu dimusyawarahkan, dan diambil keputusan terbaik.

Andi makin bertanya-tanya, apakah dapat dikatakan sebuah demokrasi, ketika sebuah keputusan harus dipilih oleh orang-orang yang notabene tidak memahami konsekuensi dari pilihannya.

Sayang Andi tidak bisa menyaksikan proses pemungutan suara. Dua hari menjelang hari H, liburannya berakhir. Andi harus segera kembali ke Bandung.

Tiga hari kemudian, Andi mendapat kabar dari ibunya, bahwa hasil pemungutan suara lebih banyak yang tidak setuju untuk memperbaiki jembatan. Mendengarnya Andi hanya menghela napas. Sedih. Pertimbangan-pertimbangan non-teknis dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh warga Cibiru. Atau bahkan tanpa pertimbangan saat mereka menentukan pilihan. Mereka memilih hanya atas dasar arahan.

Dua pekan kemudian, saat sarapan di kedai bubur kacang langganannya, Andi membaca Koran yang ada tergeletak di meja. Gelas yang dipegangnya hampir terlepas, saat membaca berita di halaman pertama, dengan tulisan cukup besar.

"Jembatan Kampung Cibiru Runtuh. Korban meninggal 25 orang, 3 buah Mobil dan 9 Sepeda Motor".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun