Mohon tunggu...
Urip Triyono SS
Urip Triyono SS Mohon Tunggu... Guru - Be yourself

Ngelmu iku kelakone kanti laku.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Laku "Prihatin" dalam Kepemimpinan Jawa

6 April 2019   13:46 Diperbarui: 11 April 2019   11:00 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

    

Oleh: Urip Triyono, SS, MM.Pd.*)

Pengantar

Bangsa Jawa tidak pernah kehabisan ide dalam memberikan inspirasi bagi sesama dalam rangka mewujudkan dunia yang tentram, damai, dan berkeadilan. Dalam pepatah dan moralitas Jawa gerakan untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran akibat keserakahan, kesewenangan, dan ketidakadilan dikenal dengan istilah Memayu Rahayuning Buwana, "merawat dan menjaga keselamatan dunia'.

Konsep merawat dan menjaga dunia dari kehancuran akibat ulah tangan-tangan jahil dan perilaku amoral dituangkan oleh para pujangga dalam karya-karya sastra yang adiluhung, yang bernilai sastra dan mengandung muatan moral tinggi, menebarkan benih-benih keselamatan bagi seluruh penghuni alam raya ini melalui untaian kata-kata mutiara yang tersusun indah.

Piwulang

Khasanah kesastraan Jawa mengandung kearifan lokal yang tiada pernah habis untuk digali  nilai-nilainya bagi kemaslahatan bersama. Karya sastra Jawa yang bernuansa pendidikan (edukatif) tersebar pada puluhan bahkan ratusan karya sastra hasil pemikiran para local genius tanah Jawa. Dari tembok istana sejak zaman Jawa Kuna era Darmawangsa dari Kerajaan Medang (991--1007) hingga kerajaan Pasca Mataram (1755-1757), yakni Kasunanan-Mangkunegaran, dan Kasultanan-Pakualaman telah dihasilkan banyak karya sastra yang indah dan elok, bukan saja karena nilai kesastraannya yang tinggi, melainkan juga memiliki ajaran moral yang sungguh memikat dan membanggakan bagi generasi penerus.

Disamping karya sastra sejarah, pada jaman Majaphit muncul pula karya sastra piwulang yang berisi ajaran tentang norma kelakuan individu dalam masyarakat. Misalnya kitab Nitisastra dan Dharmasunya yang muncul sekitar abad ke-15. Munculnya kitab sastra piwulang ini juga merupakan salah satu pembaharuan di bidang kesastraan Jawa.

Pandangan masyarakat telah bergeser dalam hal mengindentifikasi diri pribadi. Pribadi bukan lagi sebagai elemen jagad gedhe, melainkan individu secara mandiri telah dihargai sebagai jagad cilik. Ajaran moral yang tercantum dalam kedua kitab di atas pada dasarnya menuntun individu agar bertanggungjawab atas jagad ciliknya sendiri (diri pribadi). Korelasi jagat cilik (pribadi) dan jagat agung (masyarakat) adalah jagad cilik menyusun jagat agung, semakin jagat cilik terdidik dan terpelihara dengan baik, maka susunan jagat agung akan aman, tentram, dan damai. Sebaliknya, pribadi yang merusak, akan merusak pula tatatan jagat agung (masyarakat), pribadi yang merusak akan menghancurkan tata aturan dalam bermasyarakat.

Begitu pengaruh Islam masuk sekitar abad ke14, muncullah kesastraan suluk, yaitu kitab yang berisi ajaran tentang tuntunan bersatunya seorang mahluk dengan Tuhannya, seperti Suluk Wujil, Suluk Sukarsa, Suluk Malang Sumirang, dan lain-lain. Pengaruh Hindu Jawa terdesak oleh arus pemikiran baru yang berlandaskan Islam yang lebih universal demokratis.

Faham Islam sufistik seperti pantheisme (semua adalah wajah Tuhan), dan monisme (wajah Tuhan menjadi satu) berjalan beriringan dalam materi pembelajaran suluk. Sehingga dalam mempelajari kesastraan Suluk kita akan dipahamkan dengan konsep Manunggaling Kawula-Gusti 'bersatunya hamba dengan Tu(h)annya', atau Jumbuhing Kawula-Gusti, yaitu konsep mengenai bersatunya visi, misi, dan tujuan dua atau lebih pihak yang berada dalam ikatan jagat alit dan jagat agung, keselarasan antara pribadi dan masyarakat.

Nasehat, nilai-nilai moral, dan kebijakan tersaji dalam untaian sajak karya para pujangga. Serat Nitisruti karya Pujangga zaman Pajang Pangeran Karanggayam misalnya,  menerangkannya dalam bentuk nasehat (Akarasa, 2016). Nasehat yang pertama bahwa seorang pimpinan (raja) untuk dapat meraih ketentraman adalah dengan menguasai pengendalian nafsunya sendiri.

Paling sederhana untuk dibahasakan, ajaran utama ini tertumpu pada pengendalian nafsu seorang pemimpin yang dijabarkan dalam bait berikut ini. "Yeku tetep wong murka sawukir, yen sira mangkono iya mangsa den andela maneh, babasane sapa ta kang bangkit, amereki kori. Myang warangsasa anggung". Artinya, jika orang semacam ini adalah orang yang serakah segunung. Bila mungkin demikian tidak mungkin akan dipercaya lagi. Merujuk dari arti bebasnya ini, bisa kita ibaratkan siapa yang mendekati pintu yang telah di makan rayap?

Sosok pemimpin yang tak bisa mengendalikan nafsunya, serakah, dan mau menang sendiri akan mempengaruhi tatanan jagat agung secara keseluruhan. Orang demikian sangat rentan membuat negara goyah. Akibatnya ketentraman tidak terjaga, pertahanan dan keamanan negara sangat rapuh seperti pintu yang digerogoti rayap.

Dalam tradisi Jawa ada cara yang tepat dalam mengolah budi dan pekerti, olah rasa dengan semedi dan mematikan raga dalam rangka menguatkan mental. Seperti ungkapan dalam bait berikut ini. "Kurang guling ing nalikeng ratri, den mindeng semadi, sinahua lampus". Artinya, kurangi tidur di waktu malam, sering bersemadi memusatkan pikiran, jiwa, dan raga, serta 'belajar mati', artinya menyiapkan diri sewaktu-waktu akan meninggal.

Hal ini tidak jauh dari  Konsep Wulang Reh karya Pakubowono IV, bahwa untuk memiliki jiwa yang tangguh, bijak, dan cerdas lahir batin, maka laku prihatin menjadi salah satu yang harus dijalankan. Meninggalkan kebanyakan makan dan tidur, cegah dhahar lawan guling, membangun mentalitas yang unggul.

Prihatin

Istilah prihatin mengacu pada aktivitas rohani, yaitu hati sebagai pusat keluhuran dan budi pekerti. Kata prihatin berasal dari kata berbahasa Jawa perih 'pedih' ati 'hati', pedih hatinya. Maksudnya adalah bahwa seseorang tengah menahan segala sesuatu yang menyebabkan kediriannya tereduksi dari jiwa.

Kedirian yang tereduksi akan memunculkan keheningan dan keheningan akan melahirkan kecerahan dan kebenaran dalam diri seseorang, kecerahan dapat berupa kebijakan yang diberikan oleh ketenangan jiwa dan mentalitas yang telah diolah sedemikian rupa melalui laku tertentu. Biasanya selain menahan makan dan minum, ketika prihatin juga seseorang dilarang melakukan hal-hal tertentu dan dianjurkan melaksanakan hal-hal tertentu.  Hasil dari proses spiritualisasi ini akan menghasilkan kebijakan yang mampu melewati batas-batas rasional, yang biasa diistilahkan dengan daya linuwih. Kelebihan ini merupakan anugerah dari yang Mahakuasa atas upaya dan ritual spiritual yang telah dilakoninya.

Perjalanan seseorang mencapai titik pencerahan sama dengan dengan perjalanan seseorang yang tengah belajar mencapai tingkat tertinggi dalam ajaran suluk, yaitu mahabbah 'cinta'. Seorang pelaku kegiatan mencari pencerahan jiwa ini harus melewati etape-etape yang pasti muncul sebelumnya yang dikenal dengan istilah pengetahuan mengenai syariat, thoriqat,  hakekat,  makrifat, dan mahabbah.

Siapa pun orangnya bila menghendaki kesuksesan lahir batin, wajib baginya mengalami langkah demi langkah kegiatan suluk, yang runut dan istikomah. Hasil dari kegiatan bersuluk inilah yang akan menghasilkan pribadi unggulan, yang mengetahui hakekat pencipaan, sehingga keberadaan dirinya tidak menimbulkan rasa ujub, riya, sombong, namun kikir dan tamak. Keberadaan dirinya adalah utusan Tuhan sebagai wakil (khalifah) yang diamanati untuk menjaga kehidupan berjalan sesuai dengan fitrah semesta yang tertib, rapi, dan damai.

Seluruh tokoh-tokoh besar, dalam catatan sejarah dan mitos sekalipun, akan selalu muncul dari hasil perjuangan yang penuh dengan cucuran keringat, darah, dan air mata. Dalam epos Mahabharata dan Ramayana, Pandawa maupun Rama-Shinta harus mengalami kesusahan pengembaraan selama 13 tahun dibuang di hutan.

Di hutan, kelima Pandawa dan ibunya Kunti, harus berjuang bertahan hidup dengan memakan apa yang disediakan oleh alam, bahkan bila pada tahun terakhir masa pembuangan di hutan diketahui oleh Kurawa maka harus diulang lagi dari awal. Begitu pula Sang Rama dan Shinta harus mengembara dalam menyiapkan mental dan spiritualnya menjadi pemimpin masa depan.

Namun, kesedihan dan kepedihan hati Pandawa maupun Rama-Shinta telah menjadikannya sebagai pribadi-pribadi unggulan, kelak mereka akan menjadi petarung-petarung tangguh yang berhasil menjadi pilar dunia dalam menjaga kebenaran dan keadilan dunia.

Hingga jaman Jawa Baru pra kemerdekaan, ajaran mengenai perjuangan menghadapi rintangan dalam meraih cita-cita dan kebahagiaan senantiasa menginspirasi anak cucu dan generasi berikutnya dalam  kultur Jawa. Sri Susuhunan Pakubuwana IV dari Keraton Kasunanan Surakarta menulis dalam karyanya yang terkenal Serat Wulang Reh, "Pelajaran Kebaikan", antara lain mengajarkan tentang tata hubungan antara para anggota masyarakat Jawa yang berasal dari golongan-golongan yang berbeda status sosialnya.

Isi ajaran tersebut banyak mengandung aspek-aspek sosiologis, terutama dalam bidang hubungan antara kelompok.bahwa untuk menjadi seorang pejabat harus melewati masa-masal sulit, seperti harus berprihatin mencegah dhahar lawan guling, mengurangi makan dan tidur. Makan dan tidur akan mengurangi keawasan panca indera manusia, sehingga apabila nafsu makan dan tidur dituruti akan mengurangi tingkat kewaspadaan dan kepekaan seseorang.

Menurunnya kewaspadaan dan kepekaan seseorang akan menurunkan kualitas pribadinya menjadi pribadi yang mudah didikte oleh materi, yang akhirnya akan menumpulkan jiwa dan mentalitas sebagai khalifah, pelayan dan pengelola negara. Nafsu makan dan tidur akan menuntun pada rasa malas dan akhirnya menjadi culas dalam memperjuangankan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Penutup

Menilik dari pesan yang disampaikan, karya sastra Jawa banyak menyampaikan pesan moral dan mental yang perlu dimiliki oleh para pemimpin. Seorang pemimpin wajib menjalankan prosesi  prihatin terlebih dahulu agar memiliki keteguhan mental dalam mengelola problematika yang terjadi di lapangan. Ketangguhan mental dan moral diperlukan agar seorang pemimpin tidak terjebak pada godaan sesaat yang membuatnya terpeleset dan jatuh dalam perbuatan tercela dan merendahkan harkat dan martabatnya sebagai manusia.

***

*) Penulis adalah Guru Bahasa Jawa di SMP Negeri 1 Songgom, Sekretaris MGMP Bahasa Jawa SMP Kabupaten Brebes. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun