Mohon tunggu...
Urip Triyono SS
Urip Triyono SS Mohon Tunggu... Guru - Be yourself

Ngelmu iku kelakone kanti laku.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Laku "Prihatin" dalam Kepemimpinan Jawa

6 April 2019   13:46 Diperbarui: 11 April 2019   11:00 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Nasehat, nilai-nilai moral, dan kebijakan tersaji dalam untaian sajak karya para pujangga. Serat Nitisruti karya Pujangga zaman Pajang Pangeran Karanggayam misalnya,  menerangkannya dalam bentuk nasehat (Akarasa, 2016). Nasehat yang pertama bahwa seorang pimpinan (raja) untuk dapat meraih ketentraman adalah dengan menguasai pengendalian nafsunya sendiri.

Paling sederhana untuk dibahasakan, ajaran utama ini tertumpu pada pengendalian nafsu seorang pemimpin yang dijabarkan dalam bait berikut ini. "Yeku tetep wong murka sawukir, yen sira mangkono iya mangsa den andela maneh, babasane sapa ta kang bangkit, amereki kori. Myang warangsasa anggung". Artinya, jika orang semacam ini adalah orang yang serakah segunung. Bila mungkin demikian tidak mungkin akan dipercaya lagi. Merujuk dari arti bebasnya ini, bisa kita ibaratkan siapa yang mendekati pintu yang telah di makan rayap?

Sosok pemimpin yang tak bisa mengendalikan nafsunya, serakah, dan mau menang sendiri akan mempengaruhi tatanan jagat agung secara keseluruhan. Orang demikian sangat rentan membuat negara goyah. Akibatnya ketentraman tidak terjaga, pertahanan dan keamanan negara sangat rapuh seperti pintu yang digerogoti rayap.

Dalam tradisi Jawa ada cara yang tepat dalam mengolah budi dan pekerti, olah rasa dengan semedi dan mematikan raga dalam rangka menguatkan mental. Seperti ungkapan dalam bait berikut ini. "Kurang guling ing nalikeng ratri, den mindeng semadi, sinahua lampus". Artinya, kurangi tidur di waktu malam, sering bersemadi memusatkan pikiran, jiwa, dan raga, serta 'belajar mati', artinya menyiapkan diri sewaktu-waktu akan meninggal.

Hal ini tidak jauh dari  Konsep Wulang Reh karya Pakubowono IV, bahwa untuk memiliki jiwa yang tangguh, bijak, dan cerdas lahir batin, maka laku prihatin menjadi salah satu yang harus dijalankan. Meninggalkan kebanyakan makan dan tidur, cegah dhahar lawan guling, membangun mentalitas yang unggul.

Prihatin

Istilah prihatin mengacu pada aktivitas rohani, yaitu hati sebagai pusat keluhuran dan budi pekerti. Kata prihatin berasal dari kata berbahasa Jawa perih 'pedih' ati 'hati', pedih hatinya. Maksudnya adalah bahwa seseorang tengah menahan segala sesuatu yang menyebabkan kediriannya tereduksi dari jiwa.

Kedirian yang tereduksi akan memunculkan keheningan dan keheningan akan melahirkan kecerahan dan kebenaran dalam diri seseorang, kecerahan dapat berupa kebijakan yang diberikan oleh ketenangan jiwa dan mentalitas yang telah diolah sedemikian rupa melalui laku tertentu. Biasanya selain menahan makan dan minum, ketika prihatin juga seseorang dilarang melakukan hal-hal tertentu dan dianjurkan melaksanakan hal-hal tertentu.  Hasil dari proses spiritualisasi ini akan menghasilkan kebijakan yang mampu melewati batas-batas rasional, yang biasa diistilahkan dengan daya linuwih. Kelebihan ini merupakan anugerah dari yang Mahakuasa atas upaya dan ritual spiritual yang telah dilakoninya.

Perjalanan seseorang mencapai titik pencerahan sama dengan dengan perjalanan seseorang yang tengah belajar mencapai tingkat tertinggi dalam ajaran suluk, yaitu mahabbah 'cinta'. Seorang pelaku kegiatan mencari pencerahan jiwa ini harus melewati etape-etape yang pasti muncul sebelumnya yang dikenal dengan istilah pengetahuan mengenai syariat, thoriqat,  hakekat,  makrifat, dan mahabbah.

Siapa pun orangnya bila menghendaki kesuksesan lahir batin, wajib baginya mengalami langkah demi langkah kegiatan suluk, yang runut dan istikomah. Hasil dari kegiatan bersuluk inilah yang akan menghasilkan pribadi unggulan, yang mengetahui hakekat pencipaan, sehingga keberadaan dirinya tidak menimbulkan rasa ujub, riya, sombong, namun kikir dan tamak. Keberadaan dirinya adalah utusan Tuhan sebagai wakil (khalifah) yang diamanati untuk menjaga kehidupan berjalan sesuai dengan fitrah semesta yang tertib, rapi, dan damai.

Seluruh tokoh-tokoh besar, dalam catatan sejarah dan mitos sekalipun, akan selalu muncul dari hasil perjuangan yang penuh dengan cucuran keringat, darah, dan air mata. Dalam epos Mahabharata dan Ramayana, Pandawa maupun Rama-Shinta harus mengalami kesusahan pengembaraan selama 13 tahun dibuang di hutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun