Satu-satunya jalan untuk tetap melindungi para honorer yakni dengan diskresi presiden.
 Sebenarnya, jika niat dari pemerintah ingin membangun ekosistem yang baik bagi  honorer termasuk nasibnya yang dimana upah atau honor yang diterima masih jauh dari standar, maka yang harus dilakukan adalah dengan membuat aturan yang melindungi.
 Misalnya honor yang diberikan setiap bulannya harus mengikuti upah minimum setiap daerahnya.
Hubungan kerja diatur dengan aturan yang tegas dan adil.
Hal tersebut bisa akan mengangkat harkat dan martabat para honorer.
Jika menilik kebenarannya, isu tentang honorer yang akan diangkat menjadi ASN sudah menjadi isu sejah 2015 dulu. Dimana ada istilah K2 bagi honorer yang saat itu belum masuk menjadi ASN.
Bahkan, sampai hari ini pun nasib Tenaga honorer K2 atau tenaga honorer yang sudah melewati pendataan pemerintah pada tahun 2010 sampai sekarang masih belum jelas nasibnya.
Tidak pernah ada dan secara otomatis diangkat pemerintah.
Bahkan beberapa waktu silam pemerintah dengan tegas menyatakan jika honorer tersebut menjadi prioritas adalah tenaga kesehatan dan tenaga kependidikan. Lantas bagaimana tenaga dengan kategori lainnya?.
Butuh segera sebuah keputusan yang tegas dari presiden terkait nasib para honorer tersebut. Pemerintah dalam hal ini harus tegas dan tidak terlalu berbelit untuk bisa memperbaiki nasib para honorer.
Komoditas politik kepala daerah. Harus diakui saat ini honorer menggantungkan nasibnya dengan para kepala daerah dan berharap bisa memperjuangkan nasib mereka. Namun, tampaknya hal tersebut hanya akan menjadi komoditas politik saja.