Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.,
Peringatan! Itulah hal pertama yang ingin saya sampaikan sebelum anda membaca lebih lanjut tulisan kedua saya di tahun 2016 ini.
Mengapa pembaca perlu diingatkan? Karena setelah membaca tulisan ini akan ada banyak orang, termasuk anda mungkin, yang akan tidak menyukainya, mengernyitkan dahi, ataupun mungkin justru malah membenci saya? Atau mungkin malah ada yang merasakan kegundahan yang sama dengan saya? Ah, sudahlah, I never care in the very first place, haha.
Bagi saya, tulisan merupakan tempat untuk mencurahkan apa yang ada di dalam pikiran dan hati. Lalu, kenapa saya harus peduli dengan pendapat orang lain tentang saya berubah akibat saya menulis artikel ini? Lagipula ini negara demokrasi. Asalkan masih dalam koridornya, bukankah kebebasan berpendapat sudah diatur dalam UUD kita pasal 28? Edans. #AnakOlimpiadePKN
Tulisan kali ini merupakan kegundahan hati yang sudah lama saya rasakan, namun baru sempat tertuang. Terlebih lagi, Indonesia, khususnya Jakarta, dalam minggu kemarin sedang berduka akibat adanya perilaku beberapa makhluk gila yang meledakkan bom dan juga melakukan aksi tembak di Sarinah, Jakarta. Biadab kalian, para teroris dan pendukungnya!
Sebelum saya lanjutkan, saya mengucapkan bela sungkawa sebesar-besarnya kepada para korban dan keluarga yang merasa dilukai. Semoga keluarga korban diberikan kekuatan dan kesabaran dalam menghadapi semua. Mohon maaf, saya belum bisa membantu sama sekali, tidak seratus rupiah pun, tidak satu hashtag pun. Sekali lagi, saya mohon maaf. Maaf, saya adalah makhluk hina yang tidak melakukan tindakan nyata sama sekali. Namun, percayalah, walaupun saya hina, saya masih dapat merasakan kesedihan dengan adanya korban-korban yang berjatuhan dan marah kepada manusia-manusia keparat yang melakukan tindakan pemboman ini.
Berbicara mengenai perasaan, sedikit melenceng dari topik, sebagai seorang suami, saya pernah mendengar kalimat bijak yang berbunyi seperti ini :
Jangan pernah berkata “Aku mengerti perasaan dan keadaanmu kok yaaang”, kepada istri yang sedang hamil. Terlebih dengan mata masih tertuju kepada handphone anda.
Sekilas tidak ada yang salah dengan perkataan suami tersebut, karena “berusaha” bersimpati kepada sang istri. Namun jangan salahkan kenyataannya ketika sang istri amat sangat terluka akibat sang suami mengatakan kata-kata tersebut.
Diluar kondisi hormon yang tidak stabil sang istri, si suami memang bersalah mengatakan hal tersebut. Bayangkan, istri yang muntah-muntah setiap pagi selama tiga bulan awal, tidak bisa makan karena sekali makan langsung dimuntahkan lagi karena enek, pusing, sakit dan pegal di pinggang setiap hari sehingga tidak bisa tidur, dan lain sebagainya.