Braakkk. Tak sengaja aku menyenggol album kenangan SMAku dan terjatuh ketika aku sedang membersihkan rak buku. Aku terhenti dari aktifitas bersih -- bersihku. Aku buka halaman demi halaman.Â
Aku tersenyum melihat potret teman -- teman sekelasku berpose rapi di depan sekolah. Aku buka halam berikutnya. Tanganku terhenti oleh potret seseorang yang pernah membuatku semangat jalani hari selama di sekolah. Mengundang rindu itu datang lagi. Ah, kamu, mengapa aku harus duduk sebangku dengan orang sekeren kamu. Batinku merindunya. Aku tutup buku album itu dan aku kembalikan ke posisi semula. Â
Kulanjutkan aktifitas bersih -- bersihku. Lamunanku terbang ke masa itu. Masa dimana aku dan dia duduk bersebelahan. Dan tanpa aku harapkan, seiring berjalannya waktu, aku mulai melukis wajahnya dalam hatiku.
Tiga tahun lalu.
"Kak Dina! Bangun, kak. Bukannya sekarang kakak masuk sekolah, ya? Udah jam setengah tujuh, nih", kata adik perempuanku membangunkanku.
"My God!", aku terperanjat bangun dari tempat tidur. Kulihat jam dinding jarumnya menunjukkan pukul 06.22. Aku segera meraih handuk dan berlari menuju kamar mandi. Mandi, dandan, dan lain sebagainya aku lakukan dengan cepat. Pukul 06.45 aku pamitan pada ibu di dapur lalu bergegas berangkat ke sekolah.
Aku menarik napas lega, akhirnya aku sampai di sekolah tanpa terlambat. Aku parkir sepedaku lalu aku menuju kelas baruku. Sekarang aku duduk di kelas XI SMA. Aku memasuki kelas. Pandanganku menyapu seisi ruang kelas mencari tempat duduk yang paling pewe. Dan sayangnya, hanya tertinggal satu kursi yang belum ada penghuninya. Kursi paling depan dekat pintu. Aku menghembuskan napas lesu. Kenapa harus kursi depan sendiri, batinku menggerutu.
Tak lama kemudian, kedua sahabatku menyerbuku. Menanyaiku dengan seabrek pertanyaan ini itu dan mengejekku karena mendapatkan kursi paling depan. Aku tak menimpali ejekan mereka. Mataku melirik sebuah tas di kursi sebelahku. Bel masuk pun berdering. Seorang anak laki -- laki berjalan tegas lalu duduk di sebelahku. Parfum khas cowok tercium oleh hidungku. Aku hanya sempat meliriknya sesaat sebelum guru jam pertamaku memasuki kelas.
Selama jam pertama berlangsung, kami hanya saling diam. Aku enggan untuk memulai percakapan, karena kulihat dia tipe cowok yang serius. Bel jam kedua pun berbunyi. Ibu guru meninggalkan ruang kelas. Seketika ruang kelas ramai dengan percakapan teman -- teman. Aku hanya coret -- coret di buku kosongku.
"Hai, aku Andi. Kamu?", katanya memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya padaku.
"Eh, iya. Aku Dina", jawabku kelabakan menerima uluran tangannya. Kupikir dia tak akan bicara hingga nanti ajaran baru lagi. Kami pun mengobrol ringan hingga bel kembali berbunyi waktunya istirahat. Ternyata aku salah, dia tak sependiam dan secuek itu. Dia orang yang asik untuk diajak ngobrol. Itu kesimpulanku untuk hari pertama bersamanya.
 Waktu berlalu cepat. Tak terasa sudah hampir setengah semester aku dan dia jadi teman sebangku. Aku sering menghabiskan waktu di sekolah bersamanya. "Ciyee, yang sekarang nemu temen baru. Temen lamanya dilupain. Ati -- ati lho ya, jangan terlalu deket. Nanti bisa jatuh cinta. Cewek mana yang nggak bakalan kecantol kalo tiap hari duduk sebelahan dengan cowok sekeren dia", goda kedua sahabatku.
Dia memang keren, kuakui itu. Dia berwajah tegas tapi manis, badannya tak gemuk juga tak kurus, dan tingginya kira -- kira 165 cm. Dia orang yang mudah akrab dengan orang lain. Akademiknya juga bagus. Dia menduduki juara pertama di kelasku. Dia sering mewakili sekolah di berbagai lomba dan olimpiade bahasa Indonesia. Satu lagi, dia pandai sekali membuat puisi.
***
"Lhoh, Din, kamu belum pulang?", sapanya sambil mendekat ke arahku.
Segera kumasukkan buku diariku ke dalam tas. "Iya, An, masih hujan nih mau pulang. Ya udah deh aku nunggu hujan reda di sini", jawabku. Dia dengan santai duduk di sebelahku dan hanya berjarak 5 cm. Jantungku berdebar. Ternyata aku masih belum bisa terbiasa meski setiap hari aku duduk bersebelahan dengannya. Karena baru kali ini aku duduk sebangku dengan cowok.
"Kenapa nggak bilang kalo masih nunggu di sini, Din. Tau gitu kan aku dari tadi ke sini. Eh, iya, malam minggu nonton yuk. Ada film komedi baru nih. Ya, ya, mau ya?", katanya merayuku. Aku masih sibuk mengatur debaran jantungku dan otakku berusaha mencerna apa maksud perkataannya barusan. Aku buru -- buru mengiyakan ajakannya, aku takut dia menyadari aku yang terbawa perasaan olehnya sedari tadi.
Akhirnya, aku dan dia pergi ke bioskop. Kita tak henti tertawa selama nonton film komedi itu. Dan ternyata, dia kelihatan lebih ganteng saat tertawa lepas. Sejak itu, aku mulai menyimpan namanya dalam hatiku. Dia juga menjadi lebih sering mengajakku belajar bareng, keluar bareng, sampai pernah mengundangku makan bersama keluarganya.
Pernah suatu ketika, dia meminjam buku catatanku. Dan aku lupa, aku pernah menuliskan inisial namanya di buku itu. Semalaman aku tak bisa tidur memikirkan alasan untuk mengelaknya jika dia menanyaiku besok.
Keesokan harinya, aku sengaja menyibukkan diri ngerumpi dengan dua sahabatku di kursi belakang. Aku melihat dia masuk kelas lalu duduk di tempatnya. Dan benar firasatku, dia membaca tulisan inisial itu. Dia melambai -- lambaikan bukuku dan membuka lembaran yang ada inisialnya itu padaku sambil memamerkan wajah isengnya. Aku menepuk halus jidatku.
Bel masuk pun berbunyi. Aku kembali ke tempat dudukku. Kudapati bukuku terbuka lebar di atas mejanya. Aku duduk dengan perasaan yang sedikit canggung. Dia meyenggol lenganku dengan lengannya. Jari telunjuknya menunjuk inisial itu yang sudah dilingkari olehnya dan ditambah emot mengejek.
"Ciye, siapa tuh? Jahat nih, jatuh cinta nggak cerita -- cerita", dia menuliskan pertanyaan di buku catatannya dan menyodorkannya padaku untuk aku balas.
"Apaan sih, enggak. Aku hanya kagum aja kok sama dia", aku kembalikan buku catatannya.
"Kagum apa kagum? Awalnya sih kagum aja, tapi lama -- lama cinta juga hahaha. Cerita dong, siapa sih dia?", ternyata jawabanku tadi belum membuat dia berhenti penasaran.
Otakku berpikir keras mencari objek seseorang yang aku kagumi. Tanganku memainkan bolpoin beberapa saat. Akhirnya dengan penuh pertimbangan, aku tuliskan sebuah nama kakak tingkat yang kebetulan mempunyai inisial sama dengan namanya. Maafkan aku, kak, kamu kujadikan sasaran kebohongan ini, batinku meminta maaf. Kusodorkan buku catatannya. Mataku meliriknya, dia manggut -- manggut dan menyunggingkan senyum jailnya.
"Apa sih hebatnya dia sampai kamu diam -- diam menyukainya? Gantengan juga aku", tanyanya usil. Dia masih penasaran dan menanyaiku ketika jam pelajaran berkhir.
"Pede banget kamu, ya. Ya kerenan dia banget lah. Pokoknya dia tu keren banget, sampai nggak ada kata yang dapat mewakili ungkapan kagumku padanya", jawabku  sambil sesaat menatap matanya. Aku bergegas keluar kelas untuk menormalkan jantungku yang berdebar tak karuan karena tatapannya barusan.
Akhirnya dia pun percaya. Imbasnya, dia selalu mengejekku ketika secara tak sengaja kita jalan bareng lalu berpapasan dengan kakak tingkatku itu. Dan aku bersikap biasa saja karena memang tak ada rasa apa -- apa. Terkadang aku juga merasa lucu dengan sandiwara ini.
Dua tahun terakhir SMAku terasa begitu singkat karena kehadirannya. Tak terasa kita sudah berada di ujung masa -- masa SMA. Sebelum acara wisuda di gelar, aku dan dia berjanji untuk saling tukar kenang -- kenangan. Aku sudah menyiapkan kenang -- kenangan untuknya jauh -- jauh hari. Aku berniat menyelipkan sebuah surat di dalamnya, ku beranikan diri untuk mengungkapkan perasaanku melalui surat ini.
Acara wisuda pun datang. Kita sangat bahagia waktu itu. Di akhir acara, aku berfoto dengannya, dengan guru -- guruku, orangtuaku, orangtuanya, dan kedua sahabatku. Sampai aku lupa kalau kita mau tukar kenang -- kenangan. Dia sudah menungguku di depan kelas. Aku menghampirinya.
"Semoga kamu suka", katanya pelan sambil menyodorkan sebuah bingkisan padaku.
"Semoga kamu juga suka", balasku sambil menyodorkan bingkisanku padanya. Setelah itu, aku dan dia hanya terdiam, duduk bersebelahan di depan kelas sambil menikmati ramainya para murid dan orangtua berfoto -- foto. Hatiku sedih berpisah dengannya hingga membuat mulutku bungkam tak mau bicara. Tak lama kemudian, dia pamit pulang duluan karena akan ada acara keluarga di rumahnya.
Aku buka bingkisan darinya. Dia memberiku album kenangan yang diisi dengan foto -- foto kita selama dua tahun terakhir. Dia menuliskan keterangan pada tiap foto. Â Aku buka lembar demi lembar. Bibirku menyunggingkan senyum. Hingga pada lembar terakhir, aku menemukan sebuah tulisan.
Teruntuk Dina, sahabatku..
Din, semoga album ini bisa menjadi obat rindu suatu saat nanti kala kamu merinduku, kebersamaan kita. Din, makasih, kamu udah mau jadi sahabatku. Tak banyak menuntutku harus begini begitu. Aku senang. Terakhir, semoga kau tidak jadian sama abang itu, tapi jadian sama aku, hahah.
Kata -- kata terakhir dalam tulisannya itu membuatku tersenyum. Meski aku tak tau, dia serius atau hanya sekedar bergurau. Aku tutup album itu lalu aku peluk dalam-dalam. Lalu kumasukkan ke dalam tas, dan kudapati suratku untuknya masih anteng di sana. Oh, Tuhan, aku lupa menyelipkan surat itu ke dalam bingkisannya. Aku menghempaskan badanku lemas pada sandaran kursi. Inginku mengejarnya lalu kuberikan surat itu padanya. Namun, sayangnya aku tak seberani itu.
Sejak kita berpisah, aku dan dia jarang berkomunikasi meski hanya saling menanyakan kabar. Sesekali aku melihat dia mengunggah foto di akun instagramnya. Sepertinya dia sekarang menjadi aktifis dan sibuk. Mungkin itu yang membuatnya tak punya waktu untuk bertukar kabar denganku.
Sampai sekarang, surat yang kutulis untuknya masih kusimpan rapi, kuselipkan dalam album kenangan darinya. Kusandingkan dengan surat darinya. Kupandangi lagi surat darinya lalu kupeluk dalam -- dalam. Aku rindu sekali dengannya. Namun apa bisaku, kecuali hanya memeluk rindu ini erat -- erat dalam hati.
"Dina, ayo sarapan!", teriak ibuku dari dapur membuyarkan nostalgiaku pagi ini.Â
Sekian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H