Waktu berlalu cepat. Tak terasa sudah hampir setengah semester aku dan dia jadi teman sebangku. Aku sering menghabiskan waktu di sekolah bersamanya. "Ciyee, yang sekarang nemu temen baru. Temen lamanya dilupain. Ati -- ati lho ya, jangan terlalu deket. Nanti bisa jatuh cinta. Cewek mana yang nggak bakalan kecantol kalo tiap hari duduk sebelahan dengan cowok sekeren dia", goda kedua sahabatku.
Dia memang keren, kuakui itu. Dia berwajah tegas tapi manis, badannya tak gemuk juga tak kurus, dan tingginya kira -- kira 165 cm. Dia orang yang mudah akrab dengan orang lain. Akademiknya juga bagus. Dia menduduki juara pertama di kelasku. Dia sering mewakili sekolah di berbagai lomba dan olimpiade bahasa Indonesia. Satu lagi, dia pandai sekali membuat puisi.
***
"Lhoh, Din, kamu belum pulang?", sapanya sambil mendekat ke arahku.
Segera kumasukkan buku diariku ke dalam tas. "Iya, An, masih hujan nih mau pulang. Ya udah deh aku nunggu hujan reda di sini", jawabku. Dia dengan santai duduk di sebelahku dan hanya berjarak 5 cm. Jantungku berdebar. Ternyata aku masih belum bisa terbiasa meski setiap hari aku duduk bersebelahan dengannya. Karena baru kali ini aku duduk sebangku dengan cowok.
"Kenapa nggak bilang kalo masih nunggu di sini, Din. Tau gitu kan aku dari tadi ke sini. Eh, iya, malam minggu nonton yuk. Ada film komedi baru nih. Ya, ya, mau ya?", katanya merayuku. Aku masih sibuk mengatur debaran jantungku dan otakku berusaha mencerna apa maksud perkataannya barusan. Aku buru -- buru mengiyakan ajakannya, aku takut dia menyadari aku yang terbawa perasaan olehnya sedari tadi.
Akhirnya, aku dan dia pergi ke bioskop. Kita tak henti tertawa selama nonton film komedi itu. Dan ternyata, dia kelihatan lebih ganteng saat tertawa lepas. Sejak itu, aku mulai menyimpan namanya dalam hatiku. Dia juga menjadi lebih sering mengajakku belajar bareng, keluar bareng, sampai pernah mengundangku makan bersama keluarganya.
Pernah suatu ketika, dia meminjam buku catatanku. Dan aku lupa, aku pernah menuliskan inisial namanya di buku itu. Semalaman aku tak bisa tidur memikirkan alasan untuk mengelaknya jika dia menanyaiku besok.
Keesokan harinya, aku sengaja menyibukkan diri ngerumpi dengan dua sahabatku di kursi belakang. Aku melihat dia masuk kelas lalu duduk di tempatnya. Dan benar firasatku, dia membaca tulisan inisial itu. Dia melambai -- lambaikan bukuku dan membuka lembaran yang ada inisialnya itu padaku sambil memamerkan wajah isengnya. Aku menepuk halus jidatku.
Bel masuk pun berbunyi. Aku kembali ke tempat dudukku. Kudapati bukuku terbuka lebar di atas mejanya. Aku duduk dengan perasaan yang sedikit canggung. Dia meyenggol lenganku dengan lengannya. Jari telunjuknya menunjuk inisial itu yang sudah dilingkari olehnya dan ditambah emot mengejek.
"Ciye, siapa tuh? Jahat nih, jatuh cinta nggak cerita -- cerita", dia menuliskan pertanyaan di buku catatannya dan menyodorkannya padaku untuk aku balas.