Sejak kecil Salman sudah menderita penyakit thalassaemia. Thalassaemia adalah suatu kelainan darah, thalassaemia ini terdiri dari berbagai jenis. Ada thalassaemia bawaan/ trait, thalassaemia minor dan thalassaemia mayor. adikku mengidap thalassaemia mayor, artinya tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup dalam darah. Sehingga adikku membutuhkan transfusi darah setiap bulannya.
Salman harus melakukan tranfusi setiap bulan. Sedikitnya, dua labu darah harus dimasukan ke dalam tubuhnya. Betapa mirisnya hati ini ketika harus melihat Salman menerima tusukan demi tusukan jarum suntik. Kulihat tangannya bengkak, akibat seringnya jarum suntik menusuk lengannya. Ia hanya menyucurkan air kesedihan dari kedua matanya. Sambil sesekali ia mengatakan kepada Ibuku, “Ibu sakit, sakit”. Dengan suara tersedu-sedu.
Salman pun menjalaninya dengan penuh kesabaran. Malah secara todak langsung ia mengatakan, “Penyakit ini diberikan oleh Allah, maka Allah akan memberi penawarnya”. Maka yang kita harus lakukan adalah berusaha untuk sembuh. Sabar bukan pasrah menerima keadaan dan tidak berusaha, tetapi sabar adalah menerima dan memperlakukan keadaan sebagaimana mestinya.
Menurut dokter, kemungkinan besar penyakitnya susah untuk disembuhkan. Kemungkinan untuk sembuh seribu banding satu. Bahkan dokter memprediksikan umur Salman tidak akan lama, paling hanya sampai kelas 4 SD. Perkataan dokter itu sempat membuatku merasa khawatir. Namun secara tidak langsung Salman mengajarkan kepadaku, bahwa dokter bukanlah Allah. Kebenarannya tidaklah mutlak. Prediksinya hanayalah berdasarkan kebiasaan dan kebanyakan. Tetapi Allah sudah menetapkan sesuatu, siapa pun tidak akan ada yang mengetahui, termasuk kapan dan dimana kita akan mati.
Sebuah nilai ketauhidan yang sering manusia abaikan. Perkataan dokter pun tidak terbukti kebenarannya. Salman masih bisa menghirup udara di dunia ini. Keimananku hampir goyah.
Meskipun penyakitnya tidak kunjung sembuh, Salaman tidak pernah berputus asa dalam meraih mimpi-mimpinya. Semangatnya untuk mencari ilmu mengalahkan semangatku. Biasanya orang yang menderita thalasemia tidak boleh pikirannya terlalu diporsir. Karena itu bisa mengganggu terhap daya tahan tubuhnya. Tetapi Salman bersikeras untuk tetap pergi mencari ilmu. Ia tidak mau keadaan fisiknya menghalangi ia dalam menggampai setiap impiannya. Pernah suatu saat aku melihatnya sedang menangis di dalam masjid pesantren. Ia hanya memegang kakinya sambil mengurutnya. Saat sedang jajan saudaraku memberitahukan keadaan salman kepadaku. Aku pun segera menghampiri Masjid, dan benar saja aku melihat Salaman sedang menangis seorang diri di rumah Allah itu. Kemudian aku membantunya, aku urut-urut kakinya sambil bertanya kepadanya, “ Man, kenapa?”. Dia tidak menjawab. Ia hanya menangis sambil tangannya menutup kedua matanya. Aku hanya berharap Allah mengangkat penyakitnya tersebut. Aku tidak kuasa melihatnya menahan sakit. Ya Allah, hanya Engkau yang bisa menyembuhkan segala penyakit, hanya engkau yang bisa memberikan penawarnya. Mengapa kesembuhan tak kunjung Engkau berikan kepada Salman. Jikalau penyakit yang Kau berikan ini adalah suatu bentuk kasih sayang-Mu padanya, maka kuatkanlah Salman.
Ada bebrapa peristiwa yang membuatku menangis dan mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Pernah suatu saat, keadaan fisik Salman mulai menjadi lemah. Salaman datang padaku dengan maksud mengajakku untuk pulang sekolah bersamanya. Aku sempat malas juga, masalahnya aku ingin bermain dudlu bersama taman-temanku. Namun aku mempunyai tanggung jawab terhadap adikku. Akupun pulang bersamanya. Kami berdua naik angkutan umum. Pada saat kami mau turun, aku menyuruh Salman untuk turun duluan. Tetapi, ia tidak mau dan mengatakan padaku;
”Luthfi saja yang turun duluan, kalau Salman yang duluan turun bakalan lama”.
Akupun segera turun dari angkutan tersebut, dan yang membuatku sedih ketika melihat Salman turun. Ia merangkak untuk turun. Ia duduk di tangga pintu angkutan umum teresbut, hanya berusaha untuk turun. Aku melihat badannnya mulai semakin lemah. kemudian aku segera membantunya. Tiba-tiba aku mendengar suara di belakangku. “Braak!”. Setelah kulihat, ternyata tukang es terjatuh dari sepedanya. Aku kembalikan perhatianku untuk membantu Salman.
“Pi bantu si emangnya, biar Salaman mah bisa turun sendiri”. Kata Salaman, yang membuatku terheran-
heran, kagum, sedih dan bangga. Meskipun keadaannya susah ia tidak mau menyusahkan orang lain, malah ia ingin membantu orang lain.