Sementara orang biasa yang tak berkepentingan, berjubel di pinggir jalan dengan terpukau seperti menyaksikan karnaval. Semua orang terjerengak melihat kereta yang membawa mayat Slamet, terbuat dari tembaga berlapis platina, ditarik kuda-kuda Austria yang gagah, beraroma parfum paris yang semerbak mawar, dan peti matinya prestisius ; berbahan kayu jati tua berukir Jepara, diselimuti sutra tenun tangan dari Bangladesh, dan berkalung bunga-bunga mahal yang langsung didekor seniman terkemuka Papuanugini. Sehingga semua itu membentuk persepsi umum kalau si mayat menjadi begitu bersuka cita menuju akhirat.
“Mungkin ini karnaval kematian yang paling meriah sepanjang sejarah setelah Fir’aun” bisik seorang tukang semir sepatu penuh takjub kepada seorang pencopet -yang juga karena begitu silau, lupa pekerjaannya.
Tiba di lahat, keranda diletakkan pada bangsal batu marmer dari Iskandaria. Lalu Maidi menuju podium dan mengatakan bahwa acara pemakaman dimulai. Layaknya Maestro ia membungkuk pada hadirin sebelum kemudian mempersilahkan pidato dimulai sambil memberi tanda semua orang duduk diatas kursi.
Sebagaimana tradisi pidato penghormatan dilakukan oleh Kepala Juru Makam yang berpenampilan layaknya pengantin. Ia sudah mahir menyuarakan kesadaran akan kematian dengan suaranya yang serak-serak basah dan bahasanya menggugah hati. Maka ia bisa memaksa setiap pelayat untuk menangis haru biru, menggerutu dilahirkan, memandang dunia sebagai tempat sekejap, merinding kenangan dosa, dan menyesal akan konflik hidup yang brengsek seperti kudis. Sampai akhirnya pidato itu ditutup lalu semua orang berdiri, letusan senapan menyalak ke langit dan peti jenasah sedemikian mahal itu diturunkan ke liang dengan tali. Kemudian diberilah aba-aba pengurukan.
Yang pertama menguruk adalah pihak kelurga. Satu persatu mereka mengambil tanah sejumput demi sejumput dengan berlinang air mata seraya bersikap begitu memuliakan jenazah di lahat yang mulai nampak kesepian. Setelah itu seterusnya dilakukan oleh petugas makam yang berbuat sebaliknya, begitu kasar dan semena-mena melemparkan tanah ke liang, lalu menginjak-injaknya sedemikian hina, bahkan kadang meludahinya seakan mencampakkannya.
Pemakaman selesai dengan peletakan batu nisan dan tak ada yang mempersoalkan cara petugas makam itu. Orang-orang pergi perlahan-lahan tak peduli dan kuburan berubah seperti sedia kala. Sepi.
***
Sehari kemudian Komisaris Polisi Sarbino menemui Maidi. Mewakili keluarga besar almarhum Slamet ia mengucapkan terima kasih dan memberikan jasa kerja propaganda dengan jumlah seperempat dari nominal perjanjian semula. “Tak kuduga kau bisa membuat pemakaman seduka itu” tuturnya tanpa berdosa sedikitpun sambil menjabat tangan Maidi.
“Lebih tepatnya meriah, Komisaris” jawab Maidi nyaris tanpa ekspresi.
“Maksudmu?” Kolonel Sarbino agak cemas, merasa Maidi seperti menunjuk belangnya.
“Kemaren itu pesta kematian, dan kalau Slamet tiba-tiba hidup lagi, ia akan mencekikmu. Sebab kematian itu sangat menyakitinya” terang Maidi sambil melirik isi amplop upah kerjanya, yang ia pastikan sudah dikorupsi Komisaris tengik itu.