Mohon tunggu...
U.S. Lamka
U.S. Lamka Mohon Tunggu... -

hehehee

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Musafir Pipit

10 Maret 2016   00:13 Diperbarui: 10 Maret 2016   21:21 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kala itu umur kita masih belasan tahun. Hidup sebagai dua sekawanan penggembala di sabana bukit yang sempit namun serasa selapang langit. Di banyak waktu itu kita selalu menyempatkan melihat pipit-pipit mematuki biji rumput dan membiasakan hidup dengan kebahagiaan menengadah gerimis sebagai lantunan doa, sambil menggegam butiran embun yang pecah diujung daun sebelum tangan kita menyentuhnya. Juga masih kuingat kau menangis karena kupu-kupu yang menjauhimu untuk kau bawa memeluk senja sambil menamai alam sekata-kata.

Kau sebut jiwamu pythagorian sehingga kau katakan bukit tempatku menyadap enau yang tropis ini dengan Samos. Kau merindukan musim dingin yang beku mejelang kemaru yang pelit gerimis dan untuk mengobati luka itu kau melukis sebuah kota yang diselimuti warna putih seprti lautan kapas.

Padahal aku sudah memberinya nama Elea, nama yang menurutku cantik. Cantik dalam keindahan persepsiku sebagai zenoik, yang menyatakan terjadinya “ada” kerena kenyataan diam. Seperti ketika kau menjumpaiku dan kita bertemu, yang membuat terjadi pertemuan itu karena aku diam ditempatku, bukan karena gerakanmu mendekatiku. Entah mengapa aku selalu terbenam dalam keyakinan bahwa diamlah semua dunia kita menjadi ada.

Kala itu, kau membantahnya dengan kemesraan argumentasi rasionalmu yang menyandarkan kaligrafi angka dan teorama ilusi logika-logika, yang bergerak atas nama kehendak ruang dan sisi. Hidup bagimu adalah semua yang ada dan nyata, diluar itu tak ada pengakuan kehidupan.

Mungkin kau masih mengingat ketika aku begitu dekat dengan wajahmu, dan mengatakan pertanyaan yang tak pernah bisa kau jawab,dalam nafasmu yang panjang,

“Berapa kubik cintamu pada sebuah diskon dasi kupu-kupu Mie?”

Kau hanya tersenyum, lalu bibirmu yang mirip cuilan bulan itu melenyapkan segala jawaban. Kau sejenak menatapku sambil mengucapkan kata yang membawa kehangatan,

“Panta rhei” bisikmu syahdu.

Lalu kita bisu dalam gulatan filotes yang menyatukan, dalam kedaulatan cinta yang melekatkan. Kita terus bersemi, dengan keyakinan panta rhei mu yang kau maknai mengalir.

oOo

Di ujung musim hujan yang dingin kita berpisah bersama harapan bertemu kembali dengan kenyataan yang lebih indah. Kau pergi dengan tak berair mata. Dan aku melepasmu dengan sebuah kata  dalam hati ;  yang berlalu berlalulah, yang ingin kembali kembalilah.

Setelah setengah musim kau di dalam kuilmu, dan terbenam didekapan perasaan mitika arce, kau menulis kerinduanmu kepadaku dengan sepasang merpati berwarna biru. Kau katakan, ordo hidupmu sekarang berselimut keheningan, dalam sebuah taman bersajak keindahan musim semi.

Aku tergoda. Merasa kau mengintaiku di balik rona kehangatan yang begitu merindukan. Di tempatmu sana kau seperti menatapku bersama bunga sakura, kelopak tulip dan putik mawar. Matamu terbayang berkejib merayu dengan ungkapan bahwa setiap musim semi adalah saatnya bercinta yang paling dinanti kehidupan.

Aku siuman, tapi tak bisa melepaskan bayanganmu di bukit tropis ini. Sehingga aku seperti kaktus gurun yang rindu air. Akarku menjadi memanjang, mencakar-cakar hamparan pasir yang berlarian ditiup angina kering. Aku tak sabar ingin segera menemuimu, dengan sensasi kehangatan setelah kau beku dengan semarak bunga. Aku juga mengharapkanmu tetap sebagai pythagorian, seorang manusia yang mempercayai bilangan tapi tak boleh makan buncis dan berpantang melihat cermin di samping cahaya.

Tapi apapun dirimu bagiku bukan persoalan. Aku merindukanmu karena sebuah alasan ; kita adalah lintasan takdir yang pernah bersama dan menikmati. Takdir seperti big beng, yang tersebab sebuah kata besar kun fayakun, yang juga terjadi atas hakikat kehendak kesetiaan kepada Tuhan.

Aku mengharapkan, kita bisa melanjutkan sejarah yang kau sebut dengan panta rhei, dimana segala sesuatu terjadi itu mengalir. Seperti aku, yang ditakdir ditengah jalan sejarah masa, dalam ruang bilangan zaman yang semakin kacau ini. Cinta dengan segala keadaanku yang terus bertahan dengan penjelmaan budi penyadap enau, yang kau sebut mewakili gurun disaat kemarau dan menjelmakan separuh dingin dimusim hujan.

oOo

Namun kita tak bertemu dalam kenyataan. Semua yang kupandangi cinta ternyata hanya seawan angan yang kabur disepak angin. Harapan hati dalam jiwaku yang membuat penyatuan kita ternyata kemusnahan saja. Dan aku sekarat ketika kau menjemput kerinduanmu dengan senyum yang menenggelamkanku. Senyum tulus cinta, bukan untukku, tapi untuk orang selain diriku.

Mungkin kau tak menyadari, betapa agung makna katamu saat kau genggam bunga katu di kaki Samos kala itu ;

 “Kita adalah kesatuan dalam hule dan morfe, kesatuan perbedaan pribadi yang sama dalam kenyataan takdir”

Kau tahu? Karena katamu itu betapa aku sudah merindukanmu begitu panjang. Membuatku tak peduli melintasi lautan kata dan lorong waktu yang bisu. Betapa aku sudah memutuskan tak akan melupakanmu, demi menyelam ke kolam dialektika cintamu berserta mite-mitenya.

Kau tahu? Aku sudah membentang bahasa demi sebuah kata panta rhei. Yang membuat kita akan mengalir, lalu mencair, dan kemudian menghanyut ke samudra harapan yang tak bisa dikatakan karena kita tak terbiasa menebak jalan hidup.

Ketika kau katakan musim beku sudah berlalu, dan saatnya engkau bersemi dengan bunga yang  berkelopak harapan dengan lelaki itu, aku terdiam sambil menatap bukit Samos dengan syairmu yang begitu ke kenal, yang sangat dekat dengan nafasmu ketika kau mengatakannya ; teruskan panta rhei.

Seketika aku seperti uap, dalam bayang-bayangmu seperti asap, yang pekat kemudian menipis lalu lenyap. Aku akhirnya tertakdir mencair sendiri di penantian ini, aku mencair seperti salju yang tersengat hangat. Aku masih berusaha menatap bukit, dan aku seperti melihat kau bercinta dengan lelaki yang meregang bara di bejana kaca.

oOo

Duapuluh enam bulan berlalu kau seperti ditelan zaman. Aku juga telah memaksa diriku tak lagi berharap perjumpaan. Aku sudah senyap dan sunyi dari wajahmu, dan semakin merasa sendiri dalam kesendirianku. Aku tak ingin merindukanmu, dan aku juga tak ingin kepada apapun menyampaikannya.

Hingga datang lagi sepucuk surat dari kuilmu. Kau beritakan kepadaku bahwa kau telah memiliki muara cinta dimusim semi dari lelaki yang kini sudah pergi. Mutiara itu adalah dewi, yang matanya begitu mencintai, yang penuh keharuman dan membahagiakan yang menatapnya. Tangisnya merdu, lebih merdu dari petikan kecapi dan gesekan maestro biola. Dan diujung suratmu kau katakan ;

“Sudikah kau menerimaku dengan rasa kemanusiaan?”

Aku terharu dan semakin terluka. Selama ini telah kukutuk engkau seperti ruh jahat yang menghantui mimpi-mimpi. Tapi kini datang lagi membawa mantra-mantra harapan yang jalang. Hatiku terpadam dipekat meradang. Aku terus meraba-raba jiwaku, terus bertanya-tanya, masihkah aku harus mencintaimu? Mungkin tidak, aku tak harus mencintaimu, tapi demi mata bayimu yang lebih tulus dari keheningan itu aku bisa menerimamu.

Kemarilah, tapi jangan dengan cinta. Datanglah seperti mantramu, dengan kemanusiaan. Aku akan menanti di bukit Samosmu yang menjadi taman Eleaku. Kita akan kembali bersama-sama menjadi musafir pipit, yang  menamai alam dengan sekata-kata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun