Mohon tunggu...
U.S. Lamka
U.S. Lamka Mohon Tunggu... -

hehehee

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Musafir Pipit

10 Maret 2016   00:13 Diperbarui: 10 Maret 2016   21:21 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ketika kau katakan musim beku sudah berlalu, dan saatnya engkau bersemi dengan bunga yang  berkelopak harapan dengan lelaki itu, aku terdiam sambil menatap bukit Samos dengan syairmu yang begitu ke kenal, yang sangat dekat dengan nafasmu ketika kau mengatakannya ; teruskan panta rhei.

Seketika aku seperti uap, dalam bayang-bayangmu seperti asap, yang pekat kemudian menipis lalu lenyap. Aku akhirnya tertakdir mencair sendiri di penantian ini, aku mencair seperti salju yang tersengat hangat. Aku masih berusaha menatap bukit, dan aku seperti melihat kau bercinta dengan lelaki yang meregang bara di bejana kaca.

oOo

Duapuluh enam bulan berlalu kau seperti ditelan zaman. Aku juga telah memaksa diriku tak lagi berharap perjumpaan. Aku sudah senyap dan sunyi dari wajahmu, dan semakin merasa sendiri dalam kesendirianku. Aku tak ingin merindukanmu, dan aku juga tak ingin kepada apapun menyampaikannya.

Hingga datang lagi sepucuk surat dari kuilmu. Kau beritakan kepadaku bahwa kau telah memiliki muara cinta dimusim semi dari lelaki yang kini sudah pergi. Mutiara itu adalah dewi, yang matanya begitu mencintai, yang penuh keharuman dan membahagiakan yang menatapnya. Tangisnya merdu, lebih merdu dari petikan kecapi dan gesekan maestro biola. Dan diujung suratmu kau katakan ;

“Sudikah kau menerimaku dengan rasa kemanusiaan?”

Aku terharu dan semakin terluka. Selama ini telah kukutuk engkau seperti ruh jahat yang menghantui mimpi-mimpi. Tapi kini datang lagi membawa mantra-mantra harapan yang jalang. Hatiku terpadam dipekat meradang. Aku terus meraba-raba jiwaku, terus bertanya-tanya, masihkah aku harus mencintaimu? Mungkin tidak, aku tak harus mencintaimu, tapi demi mata bayimu yang lebih tulus dari keheningan itu aku bisa menerimamu.

Kemarilah, tapi jangan dengan cinta. Datanglah seperti mantramu, dengan kemanusiaan. Aku akan menanti di bukit Samosmu yang menjadi taman Eleaku. Kita akan kembali bersama-sama menjadi musafir pipit, yang  menamai alam dengan sekata-kata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun