Setelah setengah musim kau di dalam kuilmu, dan terbenam didekapan perasaan mitika arce, kau menulis kerinduanmu kepadaku dengan sepasang merpati berwarna biru. Kau katakan, ordo hidupmu sekarang berselimut keheningan, dalam sebuah taman bersajak keindahan musim semi.
Aku tergoda. Merasa kau mengintaiku di balik rona kehangatan yang begitu merindukan. Di tempatmu sana kau seperti menatapku bersama bunga sakura, kelopak tulip dan putik mawar. Matamu terbayang berkejib merayu dengan ungkapan bahwa setiap musim semi adalah saatnya bercinta yang paling dinanti kehidupan.
Aku siuman, tapi tak bisa melepaskan bayanganmu di bukit tropis ini. Sehingga aku seperti kaktus gurun yang rindu air. Akarku menjadi memanjang, mencakar-cakar hamparan pasir yang berlarian ditiup angina kering. Aku tak sabar ingin segera menemuimu, dengan sensasi kehangatan setelah kau beku dengan semarak bunga. Aku juga mengharapkanmu tetap sebagai pythagorian, seorang manusia yang mempercayai bilangan tapi tak boleh makan buncis dan berpantang melihat cermin di samping cahaya.
Tapi apapun dirimu bagiku bukan persoalan. Aku merindukanmu karena sebuah alasan ; kita adalah lintasan takdir yang pernah bersama dan menikmati. Takdir seperti big beng, yang tersebab sebuah kata besar kun fayakun, yang juga terjadi atas hakikat kehendak kesetiaan kepada Tuhan.
Aku mengharapkan, kita bisa melanjutkan sejarah yang kau sebut dengan panta rhei, dimana segala sesuatu terjadi itu mengalir. Seperti aku, yang ditakdir ditengah jalan sejarah masa, dalam ruang bilangan zaman yang semakin kacau ini. Cinta dengan segala keadaanku yang terus bertahan dengan penjelmaan budi penyadap enau, yang kau sebut mewakili gurun disaat kemarau dan menjelmakan separuh dingin dimusim hujan.
oOo
Namun kita tak bertemu dalam kenyataan. Semua yang kupandangi cinta ternyata hanya seawan angan yang kabur disepak angin. Harapan hati dalam jiwaku yang membuat penyatuan kita ternyata kemusnahan saja. Dan aku sekarat ketika kau menjemput kerinduanmu dengan senyum yang menenggelamkanku. Senyum tulus cinta, bukan untukku, tapi untuk orang selain diriku.
Mungkin kau tak menyadari, betapa agung makna katamu saat kau genggam bunga katu di kaki Samos kala itu ;
“Kita adalah kesatuan dalam hule dan morfe, kesatuan perbedaan pribadi yang sama dalam kenyataan takdir”
Kau tahu? Karena katamu itu betapa aku sudah merindukanmu begitu panjang. Membuatku tak peduli melintasi lautan kata dan lorong waktu yang bisu. Betapa aku sudah memutuskan tak akan melupakanmu, demi menyelam ke kolam dialektika cintamu berserta mite-mitenya.
Kau tahu? Aku sudah membentang bahasa demi sebuah kata panta rhei. Yang membuat kita akan mengalir, lalu mencair, dan kemudian menghanyut ke samudra harapan yang tak bisa dikatakan karena kita tak terbiasa menebak jalan hidup.