Dalam sebuah pertemuan reuni yang tidak direncanakan di kawasan Car Free Day Sabtu minggu lalu, kami bertemu dengan banyak kawan SMA yang lulus lebih dari tigapuluh tahun lalu. Sebagian besar dari kami bertubuh tambun dan memutuskan untuk lebih bersemangat berolah raga.
Dengan tubuh yang penuh keringat sehabis jalan cepat beberapa putaran kami asik bersendau gurau dan duduk ngrumpi di trotoar jalan. Teman kami mempunyai latar belakang suku dan agama yang beragam dan juga menekuni banyak profesi dengan latar belakang pendidikan tinggi yang berbeda.
Setelah ngobrol ngalor ngidul tidak jelas juntrungannya maka topik kita mengerucut kearah topik korupsi yang merajalela dinegeri ini, bahkan ada informasi tentang beberapa teman kami yang dulu terkenal cerdas, alim, agamis dan tidak neko -- neko juga setelah menjadi pejabat terjerat kasus korupsi dan dipenjara.
Apa yang terjadi sebenarnya ? Apa penyebabnya ? Apakah hanya sekedar ketamakan dan kerakusan seseorang? Budaya Hedonisme ? Ah rasanya tidak masuk akal.
Seorang teman kami yang sosiolog menilai, setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan korupsi merajalela di Indonesia. Yaitu ditinjau dari budaya, sisi sistem dan sisi manusia.
Dalam sisi budaya, budaya upeti menjadi penyumbang utama perilaku korupsi, budaya upeti merupakan warisan penjajahan Belanda yang menempatkan pejabat pribumi di suatu daerah akan dipertahankan jika berhasil melaksanakan kebijakannya dan tentunya dengan memberikan upeti kepada pihak Belanda.
Kasus Walikota Tegal dan Bupati Klaten adalah contohnya, para pejabat dimintai Upeti, atau sekarang lebih dikenal sebagai gratifikasi, Â untuk bekal Walikota / Bupati dalam mencalonkan diri untuk kedua kalinya pada Pilkada berikutnya. Teman kami tersebut kembali menjelaskan, bentuk pemberian gratifikasi tersebut paling tidak dapat dilihat dalam tiga model yaitu:
1). dari bawahan kepada atasan dalam rangka mencari muka atasan  agar jabatannya naik, dipindahkan ketempat basah atau melanggengkan jabatan bawahan yang sudah cukup enak.
2). dari mitra sejajar, misalnya pemberian gratifikasi dari pengusaha kepada pejabat untuk melancarkan urusan, sumbangan dana dari pengusaha untuk kampanye Calon Kepala Daerah dan lain sebaginya.
3). dari atasan kepada bawahan seperti contohnya pemberian THR (yang tidak ada pos anggarannya) oleh pejabat kepada anak buahnya, pemberian uang dan barang dari pejabat kepada rakyat nya pada waktu pilkada dan lain sebagainya. Pemberian upeti / gratifikasi ini juga marak pada waktu pemilu Legislatif dan Pemilu Kepala Daerah.
Dari sisi Sistem, maka dia melihat bahwa sistem demokrasi kita yang menggunakan pemilihan langsung ternyata memberikan dampak yang luar biasa bagi suburnya korupsi dimasyarakat. Hal ini disebabkan karena untuk meraih jabatan sebagai Anggota DPR dan Kepala daerah dibutuhkan biaya yang sangat mahal, baik untuk mahar dukungan partai politik, ongkos kampanye, biaya untuk tim sukses dari tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan dan bahkan tingkat desa, uang makan dan uang saku para saksi di seluruh TPS yang ada.
Sungguh membutuhkan uang yang tak terhitung banyaknya. Adalah wajar apabila mereka setelah menjabat berusaha agar modal usahanya kembali (break even point) sokur-sokur mendapat keuntungan untuk nyalon diperiode berikutnya. Caranya ? Ya harus kreatif lah baik dalam mengatur proyek, jual beli jabatan, menarik upeti dari pejabat dibawahnya / mitra kerjanya, menjadi calo proyek dan lain sebagainya. Â
Korupsi dari sisi manusianya menurut pandangan umum adalah sebagai akibat dari kebutuhan (gaji rendah bagi pegawai biasa) dan karena ketamakan / keserakahan (pada pejabat tinggi yang sebetulnya menurut ukuran umum sudah kaya). Betulkah begitu? Ternyata tidak selamanya demikian, dalam beberapa kasus ada banyak pejabat / pegawai yang masuk penjara bukan semata -- mata karena kebutuhan dan keserakahan tetapi juga diakibatnya karena:
1). Tidak menguasai Prosedur pengadaan barang dan jasa (banyak menjerat para Pejabat Pembuat Komitmen),
2). Loyalitas yang tinggi kepada atasan sehingga banyak Panitia PHO / Panitia Penerima yang tandatangan Berita Acara Penyelesaian Kegiatan 100 % walaupun kenyataannya progres fisiknya belum selesai,
3). Kurang teliti sehingga terlalu percaya orang lain / anak buah dan menandatangani dokumen yang seharusnya tidak boleh ditandatangani, salah prosedur dan lain sebagainya yang berakibat pada kerugian negara.
4). Korupsi sudah menjadi bagian hidup dan tidak disadari sebagai perilaku korupsi, pemberian gratifikasi terhadap petugas pelayanan publik adalah contohnya, memberi sekedar uang rokok pada waktu mengurus surat di Ketua RT, Kepala Desa / Lurah, urus SIM dan masih banyak lagi.
Memeroleh  uang / barang dari konsumen setelah membantu menyelesaikan / melayani konsumen dengan baik oleh sebagian aparat pelayan public bukan dianggap sebagai gratifikasi. Ucapan terima kasih dalam bentuk uang / barang dianggap biasa dan wajar bagi yang melayani dan yang dilayani;  Â
Seorang teman yang kebetulan berkecimpung di penyusunan program dan anggaran  sering terlibat perencanaan anggaran menambahkan bahwa penyimpangan anggaran seringkali terjadi disebabkan karena:
1). Terlalu rigitnya pengalokasian anggaran pada Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) dan Petunjuk Operasional Kegiatan (POK) sehingga kurang luwes dalam pelaksanaanya. Seringkali terdapat kebutuhan barang yang tidak tercantum didokumen anggaran sehingga terpaksa beli flash disk dengan pertanggung jawaban pembelian kertas dan lain sebagainya.Â
2). Selanjutnya ketatnya aturan perencanaan anggaran membuat beberapa kegiatan yang jelas - jelas dibutuhkan dan selalu biasa / wajib dilakukan setiap tahunnya tidak bisa dianggarkan secara resmi di Dokumen Keuangan, sehingga muncul penyimpangan penggunaan anggaran yang oleh para pejabat sering dikemas dengan istilah kebijakan atau dana taktis.
Contohnya pemberian Tunjangan Hari Raya untuk pegawai dan pejabat yang lebih tinggi, Peringatan HUT Republik Indonesia seperti Upacara, Stand Pameran oleh OPD, Pawai Kendaraan, Karnaval  dan lain sebagainya.
3). Kemampuan perencana yang terbatas didalam memprediksi kebutuhan kantor dan atau munculnya kasus mendadak bersifat darurat yang harus segera ditangani padahal tidak tersedia anggaran di dokumen keuangan. Kondisi semacam ini sering sekali terjadi dan membuat Pengguna anggaran / kuasa pengguna anggaran beserta pejabat dibawahnya memeras otak untuk putar / geser anggaran sana sini dan seringkali tidak sempat atau tanpa melakukan revisi.
Para pejabat biasanya berkilah "yang penting untuk kebutuhan kantor / masyarakat dan tidak masuk kantong pribadi tidak apa - apa". Tapi apakah para penegak hukum mau mengerti masalah ini?.
Seorang teman kami praktisi hukum mencoba menengahi dengan pendapatnya : "Di semua sektor kehidupan, korupsi merajalela karena hukum tidak ditegakkan,bahkan para penegak hukum pun banyak yang ikut bermain didalamnya".
Menurut dia, konsep pembangunan ekonomi dinegeri ini sudah cukup lengkap dan bagus, hanya kepastian hukum dan penegakan hukumnya yang belum jalan. "Penegakan hukum dengan pemberian hukuman mati seperti yang diterapkan di China bukan hanya memberikan efek jera, tapi juga rasa takut bagi penyelenggara negara" tambahnya.
Teman kami yang sosiolog menambahkan " proses memberantas korupsi tidaklah mudah, memerlukan waktu untuk penanganannya, dari aspek budaya, harus ada upaya secara sadar bagi bangsa ini untuk menanamkan semacam vaksin anti korupsi kepada masyarakat untuk menghilangkan budaya upeti, pemberian ucapan terima kasih dan jenis -- jenis gratifikasi lainnya.
Dari sisi sistem Pemerintah ikut hadir dengan mengalokasikan biaya untuk Parpol yang memadai sehingga mereka tidak perlu lagi memajaki para Balon Kepala Daerah dan Para Caleg, dan juga diperlukan pengawasan yang lebih ketat pada penyelenggaraan Pemilu agar dapat dihindari politik uang. Dari sisi manusianya, penegakan hukum yang sangat keras, bahkan kalau perlu hukuman mati, agar timbul efek jera dan rasa takut untuk melakukan korupsi dan juga mendorong orang untuk terus belajar agar terhindar dari kesalahan prosedur yang berdampak kerugian uang negara".
Teman kami yang perencana menambahkan " Untuk memberantas korupsi secara sistimatis perlu disusun program sosialisasi anti korupsi secara besar - besaran, agar semua orang paham tentang apa itu definisi korupsi, apa saja yang termasuk kategori korupsi, apa ancaman hukuman untuk setiap kejadian korupsi dari yang paling ringan sampai berat, kemana konsultasi masalah korupsi, kemana melaporkan peristiwa korupsi dan terakhir perkuat penegak hukum untuk tidak menjadi bagian dari korupsi akan tetapi berkomitmen untuk memberantas korupsi"
Seorang teman kami yang Pendeta menutup diskusi kami dengan mengutip salah satu ayat Alkitab  "Suap janganlah kau terima, sebab suap membuat buta mata orang orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang orang yang benar." Keluaran 23:8. Selanjutnya " Siapa loba akan keuntungan gelap, mengacaukan rumah tangganya, tetapi siapa membenci suap akan hidup" Amsal 15:27.
Seorang teman kami yang aktifis mesjid menambahkan Korupsi dalam islam terdapat pengungkapan "ghulul" dan "akhdul amwal bil bathil", sebagaimana disebutkan oleh al-qur'an dalam surat al-baqarah:188. Yang terjemahannya "dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui".
Dalam hadist ubadah bin ash shamit radhiyallahu anhu, bahwa nabi SAW bersabda yang artinya: "......(karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya.
Sedangkan dalam hadist lebih kongret lagi, dinyatakan bahwa rasulullah SAW bersabda: "Allah melaknat penyuap, penerima suap dalam proses hukum." Tidaklah Allah SWT melarang sesuatu, melainkan di balik itu terkandung keburukan dan mudharat (bahaya) bagi pelakunya. Begitu pula dengan perbuatan ghulul (korupsi), tidak luput dari keburukan dan mudharat tersebut.
Teman kami yang asli orang Bali yang beragama Hindu tidak mau kalah. Bagaimana pandangan Hindu tentang korupsi? Penyebab noktah hitam moral itu dalam Hindu dikenal dengan Panca Ma, Â Panca Ma terdiri dari 1). Madat (narkoba), 2). Mamunyah (mabuk-mabukan), 3). Madon (memitra: berzina), 4). Mamotoh (berjudi), 5). Mamaling (mencuri/korupsi). Kelimanya harus dihindari. Mamaling sebagai korupsi pada dasarnya berarti mencuri adalah dosa yang harus dihindari.
Lalu mengapa sebagai anak bangsa yang terkenal agamis kita masih melakukan korupsi?
Akhirnya semoga tulisan ini bisa menjadi bahan diskusi bagi kita semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI