Mohon tunggu...
Untung Dwiharjo
Untung Dwiharjo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tinggal di Surabaya

Lulusan Jurusan Sosiologi Fisip Unair. Pernah bekerja sebagai wartawan dan peneliti pada lembaga Nirlaba nasional yang berbasis di Surabaya. Pernah meraih juara pada lomab LKTI dan beberapa kali tulisannya mampir di bebrapa media seperti Jawa Pos, Surya, harian Bhirawa dan detik.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Pengalaman Bekerja di Lembaga Non Profit: Sebuah Pandangan Pribadi

21 Desember 2021   07:20 Diperbarui: 21 Desember 2021   09:00 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nasib lembaga tergantung pemimpinnya.Itulah nasib kebanyakan lembaga. Sehingga ketika pemimpin yang dijadikan panutan atau referensi meninggalkan organisasi maka agak goyahlah militansi anggota dan organisasi tersebut. Dan tragisnya lagi sang pemimpin kadang lupa akan kewajibannya menyiapkan penerusnya untuk menggantikannya. 

Bahkan kader yang  sebenarnya mempunyai kemampuan karena mungkin tidak sepaham dengan sang pemimpin justru disingkirkan  dengan alasan  untuk mutasi atau pelebaran oraganisasi dengan membentuk cabang baru. 

Padahal dia sebenarnya mempunyai kapasitas  sebagai penerus dan pimpinan puncak. Mungkin ada sindrom  "tidak boleh ada matahari kembar" ala Orde Baru dan model kepemimpinan model Jawa pada orang tersebut.

Sehingga tingkat estafet organisasi  yang harusnya lancar menjadi tersendat dan tidak ada orang yang mumpuni untuk menggantikannya. Tapi justru ini adalah awal dari bencana dimana sebuah organisasi tidak menyiapkan  orang yang memang betul disiapkan untuk memimpin sebuah organisasi  untuk memasuki episode selanjutnya.

Tidak hanya orang yang ditunjuk oleh orang tua atau yang dianggap  representatif dari para sesepuh  lembaga, tetapi  harusnya ada aspirasi dari bawah juga turut diperhatikan. 

Atau harusnya lembaga memakai metode ekletisme yaitu model yang mempertemukan  antara model  dari atas (top down) dan dari bawah (buttom up) atau apabila kita memakai istilah Antony Giddens dengan sebutan teori strukturasi atau dualisme struktur.

Jadi ketika orang yang terpilih tidak perform  dalam memimpin, maka semua pengurus dan anggota lembaga turut bertanggung jawab atas semua yang terjadi. Kecuali memang ada diantara  pucuk pimpinan yang memandang orang dan lembaga sebagai alat saja, sehingga mungkin tidak ada beban moral untuk  sekadar mengganti pemimpin yang mengundukan diri dengan orang lain  yang sesuai dengan kepentingannya dan bisa dikendalikan.

Jangan terlalu Lama  Bertahan        

Sebenarnya dengan tipe organisasi  atau lembaga yang demikian bagi mahasiswa yang baru lulus (fresh graduate)yang berusia muda dan mempunyai prestasi yang bagus serta ketrampilan teknis serta kepemimpinan yang mumpuni, maka organisasi semacam ini sebaiknya hanya sebagai ajang latihan dan mencari pengalaman. 

Karena disini selain jenjang karir yang kadang tidak jelas, tapi kadang karir Anda ditentukan oleh nasib baik dan hubungan baik dengan pihak "penguasa" dalam organisasi tersebut.

Kecuali  kalau memang pengikut tersebut tergolong dalam bahasa Erich Hoffer (1993) digolongkan sebagai "The True Believer"(sang pemeluk teguh)  dimana sebagai si fanatik terhebat yang kepercayaanya tak terguncang oleh gempuran akal bagaimanapun juga dan dari manapun datangnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun