Sejak mulai kuliah di kampus kenal dengan aktifis gerakan zaman  pertengahan  tahun 90-an  yang menurut saya pribadi waktu itu masih lurus dan  dengan sepenuh hati untuk saling berbagi.Â
Tapi semenjak  era keterbukaan  reformasi dengan ditandainya era kepartaian, maka warna ketulusan itu pun sedikit-demi sedikit mulai luntur digantikan dengan  hubungan yang berbasis kepentingan tertentu.
Mulailah orang yang dianggap tidak menuruti perintah mentor dianggap pembangkang. Sehingga harus dikucilkan dan kalau perlu disingkirkan. Itulah sekelumit cerita yang saya dengar dari  orang-orang lama yang terjun dalam gerakan.Â
Pengalaman Bekerja Di Lembaga  Non ProfitÂ
Setelah lulus dari kampus saya terlibat dalam sebuah lembaga non profit karena ada orang saya kenal terdapat dalam organisasi itu menginformasikan ada lowongan.Â
Setelah melalui proses seleksi loloslah saya dalam proses seleksi dan diterima dalam organisasi itu. Dalam perkembangannya seiring berjalannya waktu maka saya pun terlibat dalam  organisasi tersebut.
Tapi seiring waktu sebagaimana dikatakan oleh Randals Collins yang melihat organisasi formal dari perspektif konflik, yaitu sebagai jaringan pengaruh antar pribadi dan berbagai arena tempat kepentingan-kepentingan yang berbeda saling berbenturan. Dengan kata lain organisasi adalah arena perjuangan (Rizer dan Goodman, 2008).
Maka tarik menarik kepentingan pun terjadi antar faksi dalam organisasi non profit tersebut. Ada yang netral  mencoba berdiri di tengah, ada yang mau membawa ke  arah partai tertentu, sampai kubu penentang karena sebagai aktifis atau simpatisan partai lainnya.Â
Walaupun ini  tidak nampak dipermukaan karena adanya hubungan patron client relationship (PCR) yang kuat  diantara beberapa kubu tersebut. Konflik laten tersebut bisa diatasi.
Tapi  yang namanya konflik  laten ketika sang patron tiba-tiba mengundurkan diri dari organisasi maka loyalisnya cenderung mengikuti hal yang sama. Sehingga bak "bedol desa" banyak  yang keluar untuk mencari  pengalaman di organisasi lain atau  melamar menjadi Aparat Sipil Negara (ASN)  ketika lowongan ASN dibuka dan ada beberapa yang di terima. Â
Tergantung  Sosok Pemimpin  Â
Nasib lembaga tergantung pemimpinnya.Itulah nasib kebanyakan lembaga. Sehingga ketika pemimpin yang dijadikan panutan atau referensi meninggalkan organisasi maka agak goyahlah militansi anggota dan organisasi tersebut. Dan tragisnya lagi sang pemimpin kadang lupa akan kewajibannya menyiapkan penerusnya untuk menggantikannya.Â
Bahkan kader yang  sebenarnya mempunyai kemampuan karena mungkin tidak sepaham dengan sang pemimpin justru disingkirkan  dengan alasan  untuk mutasi atau pelebaran oraganisasi dengan membentuk cabang baru.Â
Padahal dia sebenarnya mempunyai kapasitas  sebagai penerus dan pimpinan puncak. Mungkin ada sindrom  "tidak boleh ada matahari kembar" ala Orde Baru dan model kepemimpinan model Jawa pada orang tersebut.
Sehingga tingkat estafet organisasi  yang harusnya lancar menjadi tersendat dan tidak ada orang yang mumpuni untuk menggantikannya. Tapi justru ini adalah awal dari bencana dimana sebuah organisasi tidak menyiapkan  orang yang memang betul disiapkan untuk memimpin sebuah organisasi  untuk memasuki episode selanjutnya.
Tidak hanya orang yang ditunjuk oleh orang tua atau yang dianggap  representatif dari para sesepuh  lembaga, tetapi  harusnya ada aspirasi dari bawah juga turut diperhatikan.Â
Atau harusnya lembaga memakai metode ekletisme yaitu model yang mempertemukan  antara model  dari atas (top down) dan dari bawah (buttom up) atau apabila kita memakai istilah Antony Giddens dengan sebutan teori strukturasi atau dualisme struktur.
Jadi ketika orang yang terpilih tidak perform  dalam memimpin, maka semua pengurus dan anggota lembaga turut bertanggung jawab atas semua yang terjadi. Kecuali memang ada diantara  pucuk pimpinan yang memandang orang dan lembaga sebagai alat saja, sehingga mungkin tidak ada beban moral untuk  sekadar mengganti pemimpin yang mengundukan diri dengan orang lain  yang sesuai dengan kepentingannya dan bisa dikendalikan.
Jangan terlalu Lama  Bertahan    Â
Sebenarnya dengan tipe organisasi  atau lembaga yang demikian bagi mahasiswa yang baru lulus (fresh graduate)yang berusia muda dan mempunyai prestasi yang bagus serta ketrampilan teknis serta kepemimpinan yang mumpuni, maka organisasi semacam ini sebaiknya hanya sebagai ajang latihan dan mencari pengalaman.Â
Karena disini selain jenjang karir yang kadang tidak jelas, tapi kadang karir Anda ditentukan oleh nasib baik dan hubungan baik dengan pihak "penguasa" dalam organisasi tersebut.
Kecuali  kalau memang pengikut tersebut tergolong dalam bahasa Erich Hoffer (1993) digolongkan sebagai "The True Believer"(sang pemeluk teguh)  dimana sebagai si fanatik terhebat yang kepercayaanya tak terguncang oleh gempuran akal bagaimanapun juga dan dari manapun datangnya.Â
Maka pejah gesang derek  mawon atau mencari aman saja. Maka semuanya diserahkan ke diri sendiri, apalagi sekarang pada masa pandemi covid-19 dimana kondisinya jauh lebih sulit.
Karena semakin lama bertahan maka usia pun akan bertambah dan pilihan-pilihan kesempatan atau peluang menjadi lebih terbatas. Apalagi kalau bagi orang lama telah mempunyai anak dan istri maka segala resiko dihitung dan ditata agar tidak ada penyesalan dikemudian hari.
Jadi bagi yang muda-muda yang baru lulus memang kalau terpaksa masuk ke lembaga yang demikian maka cukup 1 atau 2 tahun untuk menimba ilmu disana sambil melihat peluang lebih baik.Â
Jangan sampai  memakai kacamata kuda karena terhegemoni oleh pemikiran tertentu sehingga kadang melupakan akan nasib sendiri dimasa yang akan datang.
Kita hendaknya teringat oleh peringatan seorang ulama yang mengatakan bahwa kita dilarang menjadi lilin, dimana dia menerangi tetapi malah dirinya yang terbakar. Maka kita sebagai manusia  yang diberi akal oleh sang pencipta untuk selalu memikirkan apa yang akan terjadi di masa depan.
Apalagi di era post-truth dan era pemujaan materi ini  yang serba semuanya diukur oleh materialisme maka mungkin kita bisa menjadikan adigum dalam politik "tidak ada teman dan kawan yang abadi" maka membuat kita selalu waspada akan janji orang tertentu yang mungkin  berjanji demi kepentingannya dirinya akan dengan mudah melupakan janji tersebut.
Demikian pengalaman ini saya tulis agar menjadi pelajaran  bagi generasi muda para lulusan baru perguruan tinggi agar pandai-pandai dalam menentukan profesi dan tempat kerja yang akan ditempuh untuk menyongsong masa depan Anda kelak.Â
Tapi mungkin ini adalah pengalaman subyektif yang bisa jadi salah, walaupun mungkin sebagian  yang lain ada sisi benarnya, maka saya kembalikan lagi ke lubuk hati nurani masing-masing untuk melangkah. Anggap saja ini sebagai tulisan remeh temeh, tidak usah dipandang serius hehehe........
Untung Dwiharjo, Â Alumnus Fisip UnairÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H