Mohon tunggu...
Herlin Variani
Herlin Variani Mohon Tunggu... Guru - Penulis Parents Smart untuk Ananda Hebat, Guru, Motivator

Penulis Parents Smart untuk Ananda Hebat, Guru, Motivator

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saksi Bersuara, Preman Bersimpuh

31 Januari 2025   22:08 Diperbarui: 1 Februari 2025   11:50 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

“Woi, belagu lu! Cuma saksi doang! Dikasih apa sama si caleg?” bentak seorang preman. Suaranya serak bagai batu tergilas eskavator.

Lathifah menoleh. Menatapnya tajam.  Matanya bagai pedang yang siap melibas nyali musuh. Sejak pagi, ia berupaya menjaga suara tetap jujur. Menjadi benteng bagi keadilan. Kini, saat penghitungan berlangsung, ia diintimidasi terang-terangan.

“Biasa aja dong. Kalau mereka naik, kau dapat apa?” sahut seorang aparat dengan nada cemooh. Senyum miringnya mencabik hati dan memacing darah muda yang menderas.

Lathifah menarik napas dan memejamkan mata sejenak. Sejak awal, ia memilih ketenangan. Kini kesabarannya terusik. Orang-orang ini tanpa sadar seolah membangunkan harimau Sumatra yang sedang lapar.

Prak! Tiba-tiba kursi berjatuhan. Meja panitia bergeser kasar. Semua mata terbelalak. Suasana hening seketika. Mencekam.

Diluar dugaan, Lathifah menendang kursi-kursi itu dengan kekuatan penuh. Mengibaskan gamisnya seperti ahli kungfu. Darahnya menggelegak. Mata menyala. Ah, keanggunan yang dipancarkannya sejak awal sirna seketika.

“Kalian dong yang biasa aja! Mau mereka menang atau kalah, bukan urusan saya. Saya hanya menjalankan tugas sebagai saksi. Saya digaji untuk itu. Lalu, apa masalahnya?” suaranya garang, mengisi ruang dengan gelombang ketegasan.

Prak. Kembali terdengar suara saat kepalan tangan gadis itu bersentuhan keras dengan papan tulis didekatnya.

“Tenang, Lathifah. Istighfar...” ujar seorang bapak pengantar snack dari caleg yang ia bela.

Nyaris saja Lathifah terbahak. Sungguh Ironis. Ia menerima nasihat dari seseorang yang bahkan hatinya belum tersentuh untuk salat. Ia memberi kode agar si bapak mundur.

“Biasa aja dong, Bu,” celetuk si preman lagi, masih berani berceloteh pelan dengan pandangan menyelidik.

Lathifah menyipitkan mata. “Anda siapa? Ada SK untuk berada di sini? Anda tahu saya siapa?” Nada suara itu tak kunjung turun.

Ia menyebut satu nama yang disegani bahkan ‘ditakuti’ di wilayah itu. Seketika, wajah si preman pias.

“Saya telepon dia, nih?” ancamnya sambil mengangkat ponsel jadulnya.

“Santai dong! Oke, kami keluar,” ujar si preman tergopoh meninggalkan ruangan. Diikuti kawan-kawannya yang mendadak kehilangan nyali.

Ruang penghitungan senyap. Semua mata beralih ke Lathifah, yang kini menatap si aparat. Posisi Lathifah mendadak di atas angin.

“Dimana rumahnya Pak? Saya pastikan malam mini berkunjung dengan Om saya. Biar Bapak tahu siapa saya.” Seru Lathifah mendekati oknum itu.

Si aparat menelan ludah. “Ndak usah, Dik...”

“Jangan belagu Pak. Seragam kayak gini berserakan di rumah saya. Baru dua bengkok kuning aja sok-sokan!” sentaknya.

Panitia tergagap. Lathifah menoleh.

“Bapak/Ibu, tolong tegas. Yang tak punya hak, jangan izinkan masuk. Ayo lanjutkan.”

Lathifah kembali melangkah tegas ke posisi duduknya semula. Penghitungan suara kembali berjalan. Seusai acara, panitia mendekatinya.

“Mohon maaf, Bu. Kami di sini cuma menjalankan tugas.”

“Sama-sama. Tapi besok, penghitungan suara harus sesuai jadwal yang ditetapkan.”

Lathifah menggeleng-geleng kepala. Kenapa ia diminta jadi saksi di daerah rawan ini? Tapi ya sudahlah. Saat hendak pulang, ia mendekati bapak pengantar snack.

“Ada apa?” tanyanya.

“Barengan kita pulang, Pak,” ujar Lathifah yang bergegas mengikutinya.

Tahukah kalian? Sebenarnya, Lathifah takut. Hahaha. Gayanya garang, tapi hati berdebar. Wajar, kan? Ia perempuan. Ia tak punya kerabat pejabat seperti yang tadi ia isyaratkan.

Keesokan harinya, saat tanda tangan administrasi, semua dokumen diperlihatkan pada Lathifah terlebih dahulu. Para saksi lain menunggu dengan patuh. Rupanya, Lathifah ini teliti. Catatan perhitungan suaranya rapi. Bahkan ada foto papan perhitungan suara sebagai bukti otentik. Tak ada yang berani macam-macam padanya. Saksi lain baru berani menandatangani setelahnya.

Seorang ibu mendekat. “Kenapa seberani itu membela caleg? Dia bukan siapa-siapa, kan?”

Lathifah tersenyum jahil. “Aku dibayar mahal, Bu. Lihat, service excellent kudapatkan. Konsumsi datang sebelum waktunya, snack dua kali, ditambah jus. Yang lain mana ada begitu. Taka da kulihat.” Ia mengangkat bahu dan mencibir.

“Iya juga, sih. Kami aja honor belum turun,” curhat si ibu.

“Nah, tuh kan. Kasian banget kalian. Besok-besok, jangan mau lagi jadi tim dia.” Seru Lathifah sembari menggeleng prihatin. “Hehehe...”

Sahabatnya bertanya. “Lathifah, apa yang membuatmu seberani itu?”

Ia tersenyum penuh arti. “Ada wangi surga menari di sana, Say. Yang kubela itu ustaz asli, bukan kaleng-kaleng.”

“Kalau aku jadi kamu, pasti kutolak tawaran itu.”

“Ya elah, gimana mau nolak? Aku tak tahu kondisinya!” Lathifah tertawa.

Begitulah Lathifah. Tanggung jawab baginya adalah kehormatan. Ketakutan lenyap saat tugas sudah diemban. Walau setelah semuanya selesai, ia pun heran sendiri.

“Bisa segitunya, ya?” katanya sambil cekikikan.

Ah, Lathifah... Ada-ada saja!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun