“Woi, belagu lu! Cuma saksi doang! Dikasih apa sama si caleg?” bentak seorang preman. Suaranya serak bagai batu tergilas eskavator.
Lathifah menoleh. Menatapnya tajamya. Matanya bagai pedang yang siap melibas nyali musuh. Sejak pagi, ia berupaya menjaga suara tetap jujur. Menjadi benteng bagi keadilan. Kini, saat penghitungan berlangsung, ia diintimidasi terang-terangan.
“Biasa aja dong. Kalau mereka naik, kau dapat apa?” sahut seorang aparat dengan nada cemooh. Senyum miringnya mencabik hati dan memacing darah muda yang menderas.
Lathifah menarik napas dan memejamkan mata sejenak. Sejak awal, ia memilih ketenangan. Kini kesabarannya terusik. Orang-orang ini tanpa sadar seolah membangunkan harimau Sumatra yang sedang lapar.
Prak! Tiba-tiba kursi berjatuhan. Meja panitia bergeser kasar. Semua mata terbelalak. Suasana hening seketika. Mencekam.
Diluar dugaan, Lathifah menendang kursi-kursi itu dengan kekuatan penuh. Mengibaskan gamisnya seperti ahli kungfu. Darahnya menggelegak. Mata menyala. Ah, keanggunan yang dipancarkannya sejak awal sirna seketika.
“Kalian dong yang biasa aja! Mau mereka menang atau kalah, bukan urusan saya. Saya hanya menjalankan tugas sebagai saksi. Saya digaji untuk itu. Lalu, apa masalahnya?” suaranya garang, mengisi ruang dengan gelombang ketegasan.
Prak. Kembali terdengar suara saat kepalan tangan gadis itu bersentuhan keras dengan papan tulis didekatnya.
“Tenang, Lathifah. Istighfar...” ujar seorang bapak pengantar snack dari caleg yang ia bela.