“Bapak/Ibu, tolong tegas. Yang tak punya hak, jangan izinkan masuk. Ayo lanjutkan.”
Lathifah kembali melangkah tegas ke posisi duduknya semula. Penghitungan suara kembali berjalan. Seusai acara, panitia mendekatinya.
“Mohon maaf, Bu. Kami di sini cuma menjalankan tugas.”
“Sama-sama. Tapi besok, penghitungan suara harus sesuai jadwal yang ditetapkan.”
Lathifah menggeleng-geleng kepala. Kenapa ia diminta jadi saksi di daerah rawan ini? Tapi ya sudahlah. Saat hendak pulang, ia mendekati bapak pengantar snack.
“Ada apa?” tanyanya.
“Barengan kita pulang, Pak,” ujar Lathifah yang bergegas mengikutinya.
Tahukah kalian? Sebenarnya, Lathifah takut. Hahaha. Gayanya garang, tapi hati berdebar. Wajar, kan? Ia perempuan. Ia tak punya kerabat pejabat seperti yang tadi ia isyaratkan.
Keesokan harinya, saat tanda tangan administrasi, semua dokumen diperlihatkan pada Lathifah terlebih dahulu. Para saksi lain menunggu dengan patuh. Rupanya, Lathifah ini teliti. Catatan perhitungan suaranya rapi. Bahkan ada foto papan perhitungan suara sebagai bukti otentik. Tak ada yang berani macam-macam padanya. Saksi lain baru berani menandatangani setelahnya.
Seorang ibu mendekat. “Kenapa seberani itu membela caleg? Dia bukan siapa-siapa, kan?”
Lathifah tersenyum jahil. “Aku dibayar mahal, Bu. Lihat, service excellent kudapatkan. Konsumsi datang sebelum waktunya, snack dua kali, ditambah jus. Yang lain mana ada begitu. Taka da kulihat.” Ia mengangkat bahu dan mencibir.