Nyaris saja Lathifah terbahak. Sungguh Ironis. Ia menerima nasihat dari seseorang yang bahkan hatinya belum tersentuh untuk salat. Ia memberi kode agar si bapak mundur.
“Biasa aja dong, Bu,” celetuk si preman lagi, masih berani berceloteh pelan dengan pandangan menyelidik.
Lathifah menyipitkan mata. “Anda siapa? Ada SK untuk berada di sini? Anda tahu saya siapa?” Nada suara itu tak kunjung turun.
Ia menyebut satu nama yang disegani bahkan ‘ditakuti’ di wilayah itu. Seketika, wajah si preman pias.
“Saya telepon dia, nih?” ancamnya sambil mengangkat ponsel jadulnya.
“Santai dong! Oke, kami keluar,” ujar si preman tergopoh meninggalkan ruangan. Diikuti kawan-kawannya yang mendadak kehilangan nyali.
Ruang penghitungan senyap. Semua mata beralih ke Lathifah, yang kini menatap si aparat. Posisi Lathifah mendadak di atas angin.
“Dimana rumahnya Pak? Saya pastikan malam mini berkunjung dengan Om saya. Biar Bapak tahu siapa saya.” Seru Lathifah mendekati oknum itu.
Si aparat menelan ludah. “Ndak usah, Dik...”
“Jangan belagu Pak. Seragam kayak gini berserakan di rumah saya. Baru dua bengkok kuning aja sok-sokan!” sentaknya.
Panitia tergagap. Lathifah menoleh.