Lathifah terduduk, dadanya naik-turun cepat. Air matanya akhirnya tumpah, mengalir bersama sungai.
"Kenapa aku malah memanggil Ibu? Bukan Allah?" bisiknya lirih.
Dadanya sesak.
 "Jika tadi nyawanya dicabut, bagaimana ia di hadapan Tuhan?''
 Sebuah pertanyaan mengusik hati. Ia beriman, tapi mengapa begitu rapuh dalam ujian?
***
Hari-hari setelah insiden itu, Lathifah berubah. Kaos oblong berganti tunik. Kerudung yang dulu mencekik kini menjuntai anggun. Celana gunung berganti rok syar'i. Suara kerasnya kini lebih terjaga, matanya lebih teduh.
Hijrah. Namun, perjalanan ini tak mudah. Teman-teman mencibir. Keluarga mengernyit.
"Kamu sok alim, Tifah?" sindir salah seorang teman.
"Nggak malu mirip ninja hatori kayak gitu?" sahut yang lain.
Lathifah hanya tersenyum. Hatinya nyeri, tapi ia bertahan. Sampai suatu hari, Kak Inge, senior yang bijak, menghadiahkan sebuah kerudung putih.