Abhijita Gupta seorang gadis kecil dari India menghasilkan buku di usia 7 tahun. Hazimah launching buku di usia 9 tahun
Umar Human, launching bukunya di usia 12 tahun (Abiku Memang Beda). Nenek Toyo Sibata menulis diusia 98 tahun. Ida Pollock, launcing buku ke 124 di usia 105 tahun
Wesley Wee, pengidap celebral palsy. Lumpuh otak. Tak mampu mengontrol gerak tubuhnya. Namun ia mampu menulis dengan 1 jempol kaki. Menghasilkan buku dengan judul "Finding Happines Against the Odds"
Jean Dominique Bauby, seorang pemred sebuah majalah di Perancis, mengalami kelumpuhan total seluruh anggota tubuhnya pasca kecelakaan.
Ia mampu menulis dengan isarat kedipan sebelah mata. Ia pun berhasil melahirkan buku di tengah keterbatasannya.
JK Rowling, menulis di tengah himpitan persoalan ekonomi. Keluarga berantakan. Mengalami kekerasan. Ia menjadi orang tua dengan status Singel Parent.
Di tengah kesulitan yang mendera, ia  juga bisa menyelesaikan tulisan-tulisannya. Kini kita kenal karyanya dengan judul Harry Potter. Karyanya ini terjual laris di pasaran. Bahkan kisah dalam novelnya  diangkat menjadi film yang memiliki banyak penggemar.
Joanna Pen, mampu melahirkan buku-buku solonya di tengah kesibukannya sebagai seorang akuntan sebuah perusahaan.
Cristy Brown, juga penderita celebral palsy. Hanya sebelah kaki kirinya yang bisa bergerak bebas. Namun ia piawai dalam meberdayakan kekuatan kaki kirinya.  Hingga mampu menyelesaikan novel-novelnya dengan gemilang. Beberapa novelnya juga diangkat menjadi sebuah film denga judul "The Da Vinci Code (2006) dan Angels  & Demons (2009)
Buya Hamka, salah seorang putra kebanggan Indonesia. Juga telah meninggalkan banyak jejak dengan karya tulis yang dihasilkanya hingga membuat nama beliau melegenda sampai saat ini.
Hari ini, Allah izinkan langkah saya menapak di tempat kelahiran beliau. Di sana saya menemukan banyak koleksi yang telah lahir dari tangan-tangannya.
Saya mendapat informasi langsung dari pemandu museum Buya Hamka di Maninjau. Bahkan terdapat tulisan asli goresan tangan beliau di sana.Â
Dari sana saya dapat informasi, Buya Hamka belajar secara otodidak. Mencari sumber-sumber informasi dari berbagai ilmu Agama Islam.
Tak ada kuliah khusus kepenulisan. Tiada pelatihan, seminar dan webinar. Tak ada kelas khusus menulis. Namun karyanya membanjir.
Bahkan lebih istimewanya lagi. Kala dirinya dibui oleh penguasa. Tiada sempat bermuram durja sepanjang masa. Malahan itu ia syukuri dan memanfaatkan waktu yang tersedia di dalam penjara untuk kembali menghasilkan karya.Â
Serangkaian tafsir pun tuntas dari balik tembok derita. Hingga usia tak terbuang sia-sia walau raga terkurung di balik jeruji besi.
Perlahan saya telusuri satu persatu benda-benda berharga milik beliau yang berjejer rapi di sana. Mata saya tertuju pada sebuah mesin tik tua. Saya mendekat dan merapat ke kotak kaca berisi alat ketik manual itu.
Saya mencoba bertanya dalam kesunyian.Â
"Apakah kau yang menemani dan membersamai beliau dalam menghasilkan karya-karya spektakuler ini?"
Secara bergantian saya memandangi mesin tik itu lalu beralih pada lukisan sosok Buya Hamka serta deretan koleksi karya tulis beliau.
Sejenak saya merenung dalam sendu. Memandang diri sendiri yang membayang pada kotak kaca lukisan sosok Buya Hamka.
Kesempatan belajar terbuka lebar. Fasilitas cukuplah lengkap dan canggih ketimbang yang dimiliki Buya Hamka. Bahkan merdeka dari tekanan penguasa. Tapi apa yang bisa saya hasilkan?
Sejenak saya menunduk dan terpaku di hadapan sebuah lukisan Buya Hamka. Malu hati. Malu pada Sang Pencipta. Telah menyia-nyiakan kesempatan berharga yang dianugrahkan oleh-NYA.
Saya segera menyeret langkah ke sebuh meja yang berisi karya tulis Buya Hamka. Terlihat di sana ada beberapa buah buku tipis dengan judul indah dan kaya diksi.
Saya kembali bertanya pada sang pemandu.
"Apa ini?"
"Ini karya fiksi Buya Hamka." Jawab pemandu tersebut dengan ramah. Mata saya membulat. Menyadari betapa miskinnya pengetahuan saya terkait tokoh fenomenal dari negeri saya sendiri.
Pemandu memberi penjelasan lagi. Buya Hamka bisa menuliskan apa saja yang beliau temukan. Setiap persoalan bisa mengalir menjadi cerita dalam sebuah tulisan. Acap kali setiap melakukan perjalanan bisa hadir tulisan baru.
Saya terdiam mendengar setiap paparan dari pemandu. Mulut seolah terkunci. Alibi yang selama ini memperkuat penyakit malas dalam diri sirna seketika.Â
Tekad kian membaja. Berjanji pada diri sendiri untuk tak lagi lengah dan terperdaya dengan waktu luang dan fatamorgana dunia yang melenakan.
Ingin meneruskan jejak berharga milik Buya Hamka dan tokoh pembangun bangsa lainnya. Tak ingin membuang waktu dan kesempatan lagi. Mengingat usia memiliki batas waktu yang tak bisa ditebak.
Bismillah
Semoga naskah buku ke-2 tuntas akhir 2020 ini dan terbit di awal tahun 2021. Resolusi 2021. Mohon doa sahabat pembaca semuanya.
Bahan Bacaan:
Prents Smart untuk Ananda Hebat
Kalau Berbeda, Lalu Kenapa
Artikel-artikel Gurunda Cahyadi Takariawan di ruangmenulis.id
Pariaman, 20 Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H